Etika Profesi
1 PENGERTIAN ETIKA DAN MORAL
etika berasal dari bahasa yunani
etika sebagai tingkah laku manusia
etika sebagai pengambilan keputusan moral
etika tentang hak dan kewajiban moral
moral sebagai landasan dan patokan bertindak.
Moral terkait dengan sosial budaya
moral penyeimbang pikiran negatif
perbuatan tidak bermoral
2 KLASIFIKASI ETIKA DAN MORAL
moral sebagai kumpulan peraturan lisan atau tertulis
tulisan para bijak merupakan petunjuk moral
moralitas objektif memandang perbuatan sebagai apa
adanya
moralitas subjektif memandang perbuatan tidak sebagai
apa adanya
moralitas intrinsik menentukan perbuatan baik dan
buruk lepas dari hukum positif
moralitas ekstrinsik menentukan perbuatan baik dan
buruk berdasarkan hukum positif.
EY Kanter moralitas individu dalam ruang gerak dalam
wilayah moralitas publik.
Etika diklasifikasikan sebagai pengambilan sikap
etika sebagai adat kebiasaan
moralitras intrinsik berasal dari diri manusia.
Moralitas ekstrinsik bersifat perintah
moralitas hetronom kewajiban menaati diluar kehendak
pelaku
moralitas otonom kesadaran akan kewajiban dari diri
sendiri
3 moralitas dan hukum
moral dari relung hati yang terdalam
hukum sebagai panglima tertinggi
kesepakatan nasional sebagai kesepakatan moral
nasional
pelaksanaan hukum membutuhkan moral
alvin tofler manusia mengalami indeks kesementaraan
karena saling terpengaruh keanekaragaman.
Kebenaran dapat bersifat relatif
Interaksi dan Intervensi budaya asing dapat
mempengaruhi moral
kesepakatan moral nasional sebagai moral yang kokoh.
Ideologi yang saling menawarkan
etika kehidupan berbangsa dan bernegara
4.etika cabang dari filsafat
filsafat sebagai pandangan hidup cinta akan
kebijaksanaan
filsafat mencari hakekat terdalam
filsafat sebagai pandangan hidup
filsafat dapat dikelompokkan pada tiga cabang
ontologi tentang keberadaan sesuatu
epistimologi tentang asal, syarat susunan,metode,
validitas pengetahuan.
Aksiologi tentang hakikat nilai, kriteria dan
kedudukan suatu nilai.
Aksiologi dapat dimasukkan filsafat etika dan estetika
etika sebagai cabang dari filsafat.
Plato filsafat pangkal dari seluruh pengetahuan
apa yang dapat kita ketahui berkaitan dengan non fisik
apa yang boleh kita kerjakan berkaitan dengan etika
sampai dimana pengharapan kita berkaitan dengan agama
apa yang dinamakan manusia berkaitan dengan
antropologi
5 ETIKA = FILSAFAT MORAL
etika sebagai rasional kritis dan mendasar tentang
pandangan moral.
Filsafat untuk kebaikan umat manusia
Aristoteles= etika mengkaji kesusilaan dalam hidup
operseorangan
etika sebagai bagian filosofia praktika
Aristoteles= ethika Nichomachela tata pergaulan dan
pengharapan manusia tidak egois.
Tidak egois berasal dari moral
H. De Vos = etika umum tentang prinsip moral,
pengertian dan fungsi etika, tanggung jawab, suara hati.
Etika khusus sebagai etika berkaitan dengan bidang
tertentu, kehidupa pribadi,antar pribadi.
Etika merupakan philosopical study of morality
subyek etika manusia sehingga etika sebagai filsafat
manusia.
6.
PROFESI
pekerjaan pada umumnya
profesi sebagai pekerjaan
profesi sebagai keahlian khusus
profesi adalah pengetahuan tinggi
profesi dengan pelatihan khusus
prafesi diabdikan untuk kepentingan orang lain
keberhasilan profesi bukan berdasar keuntungan
finansial
profesi terdapat standard kualifikasi
tanggung jawab terhadap pekerjaan dan hasil pekerjaan
etik profesi
honorarium
7.
KRITERIA
PROFESIONAL
terdapat ijin
anggota organisasi
anggaran dasar
anggaran rumah tangga
kecakapan ilmu yang khusus dimiliki profesional
otonomi dalam pekerjaan
mengucapkan janji atau sumpah dimuka publik
tanggung jawab
kode etik profesi
profesi merupakan kebutuhan publik
standard kualifikasi
honorarium
8.
PROFESI
HUKUM
profesi hukum terkait dengan profesi lain
etika profesi dan etika profesi hukum saling
berinteraksi
profesi hukum sebagai penasihat terkait dengan etika
dan moral
profesi hukum berkaitan dengan tanggung jawab dan
kejujuran
profesi hukum bersikap apa adanya dan memiliki
keberanian
profesi hukum memiliki kemandirian moral
profesi hukum memiliki kesetiaan
profesi hukum sebagai penegak peraturan hukum
profesi hukum terkait dengan sosial budaya
profesi hukum berfungsi sebagai social engineering
pembangunan sosial kemasyarakatan tidak dapat lepas
dengan adat, etika, moral
profesi hukum pelaksana dan pengawal Hak asasi manusia
hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum
Bung Karno = profesi hukum sebagai pengawal
konstitusi.
Honorarium
9.
PROFESI
LUHUR
Profesi luhur lahir dari masyarakat
cikal bakal profesi luhur dari Inggris
profesi luhur merupakan pengabdian
motivasi utama bukan mencari nafkah
profesi luhur penuh tanggung jawab.
profesi luhur diatur dalam hukum positif
profesi luhur mengutamakan orang yang dibantu
profesi luhur mengabdi pada tuntutan luhur profesi.
Profesi luhur harus didukung oleh moralitas tinggi
profesi luhur memiliki idealisme yang tinggi.
10. ETIKA PROFESI HUKUM
etika sebagai ilmu praktis kehidupan
etika profesi hukum merupakan kenyataan empiris
(praktek hukum).
Etika profesi hukum dan prinsip moral umum
tika profesi hukum terkait dengan sejarah hukum,
psikologi hukum, sosiologi hukum.
Etika profesi hukum merupakan etika normatif
etika profesi hukum melaksanakan etika secara objektif
etika profesi hukum dan pelayanan masyarakat
11.
MANFAAT
ETIKA PROFESI HUKUM
manfaat etika profesi hukum dan etika pada umumnya.
etika profesi hukum sebagai panutan dalam melayani
masyarakat
etika profesi hukum guna kepentingan masyarakat
masyarakat dan otoritas kekuasaan.
Merupakan pelindung dan panutan bagi profesi hukum.
Masyarakat turut sebagai penilai etis atau tidak etis
perilaku profesi hukum
pantauan etika profesi hukum sampai pada pribadi
profesi hukum
merupakan pemantau bagi kinerja profesi hukum
merupakan penegak bagi profesi hukum.
Penyeimbang
dengan etika profesi non hukum.
Bermanfaat terhadap negara
bermanfaat terhadap hukum
12.
ETIKA,
KODE ETIK PROFESI DAN HUKUM
etika serta etika profesi hukum bagian dari filsafat
untuk kebaikan kehidupan manusia.
Hukum mengatur keseimbangan hak dan kewajiban dalam
masyarakat
hukum dan etika menciptakan tata tertib kehidupan
masyarakat
hukum dan etika menjawab kebutuhan keadilan dan
penegakan nilai kebenaran.
Etika dikodifikasikan dalam bentuk kode etik
kode etik profesi hukum menyatu dengan hukum
kode etik profesi hukum, hukum, organisasi profesi
hukum
perbedaan terletak pada penjatuhan sanksi.
Kode etik profesi hukum sebagai tuntutan masyarakat.
Penjatuhan sanksi.
13. IKATAN HUKUM HUBUNGAN HUKUM PROFESI
hubungan hukum profesi hukum dengan klien atas
dasar perikatan perdata.
Hubungan keperdataan profesi dan klien perikatan
menjanjikan hasil (resultaatsverbintenis).
Perikatan hukum antara profesi luhur dengan yang
dilayani adalah menjanjikan usaha (inspanningverbitenis).
Menjanjikan keberhasilan sebagai pelanggaran hukum dan
kode etik.
Ikatan hubungan hukum profesi hukum dengan klien
terkait dengan kode etik.
Ikatan hubungan hukum profesi hukum dengan klien dapat
mengarah pada hukum pidana.
14.
KODE
ETIK PROFESI HUKUM
kode etik advokat
kode etik notaris
1. Pengertian
etika dan moral
etika = - sebagai ilmu
-sebagai bagian dari moral
moral = - sosial kemasyarakatan/ social budaya
-
lingkungan
keluarga
-
batin/pikiran
etika = moral = kehidupan berbangsa dan bernegara
moralitas (penilaian) = -obyektif
-subyektif
moralitas =
-general
-yuridis
sikap moral=
-bebas
-pilihan
-perenungan
moralitas-------------sosial
budaya------keanekaragaman--------interaksi--------kesementaraan--------perubahan
2 etika cabang
dari filsafat
filsafat =
-pandangan hidup
-ilmu
etika=
-filsafat moral
-ilmu
profesi=
-pekerjaan
-keahlian khusus
-pengetahuan tinggi
-pelatihan khusus
-pengabdian
-otonom
-kode etik
-standard
kualifikasi
profesi=
-individu
-kelompok
-publik
profesi =
-umum --------tanggung jawab= pekerjaan serta hak-hak
orang lain dan public
-khusus =
- tuntutan profesi
- kewajiban
-
idealism
-pengabdian luhur.
etika profesi hukum
etika profesi =
-empiris
-prinsip moral khusus
etika profesi hukum=
-sejarah hukum
-psikologi hukum
-sosiologi hukum
etika profesi hukum =
-kaidah hukum
-masyrakat/penilai
-kode etik
-dewan kehormatan
nilai moral profesi hukum=
-kejujuran
-apa adanya
-tanggung jawab
-kemandirian moral
-keberanian
-kesetiaan
manfaat dan tanggung jawab etika profesi
manfaat etika profesi=
-diri sendiri
-masyarakat
-negara
-hukum
etika dan hukum
etika dan hukum=
-tertib kehidupan masyarakat
-keadilan masyarakat
-penegakan kebenaran
kode etik profesi
kode etik=
-prinsip-prinsip kesatuan moral
-kesepakatan organisasi
-peraturan
-menghindari kesalahan
profesi
-tuntutan masyarakat
-perlindungan
-penegakan
pembahasan kode etik advokat
pembahasan kode etik notaris
-
7
ETIKA PROFESI
*Dr Tanudjaja,
SH,CN,MH.*
literatur:
(1)
Dr. Shidharta,SH,Mhum., Moralitas
Profesi Hukum (suatu tawaran kerangka berpikir), Refika Aditama, Bandung, 2006.
(2)
Prof.Abdulkadir Muhammad,SH.,
Etika Profesi Hukum,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
(3)
Drs.Abdul Kadir Wahid,SH., Anang
Sulistyono,SH., Etika Profesi Hukum Dan Nuansa Tantangan Profesi Hukum Di
Indonesia, Tarsito, Bandung, 1997.
(4)
I Gede A.B.Wiranata,SH,MH.,
Dasar-dasar Etika dan Moralitas (Pengantar Kajian Etika Profesi Hukum), Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2005.
(5)
Suhrawardi K.Lubis,SH., Etika
Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.
(6)
Hadi Herdiansyah dkk, Rekaman
Proses Workshop, Kode Etik Advokat
Indonesia (Langkah Menuju Penegakan), PSHK, Jakarta, 2004.
(7)
Prof. Dr Liliana
Tedjosaputro.,Etika Profesi dan Etika Profesi Hukum, aneka ilmu, Semarang,
2003.
(8)
As'ad Sungguh, 25 Etika Profesi,
Sinar Grafika, Jakarta, 2004.
(9)
Prof. Drs. C.S.T.Kansil, SH.,
Christine S.T.Kansil,SH,MH, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, Pradnya Paramita,
Jakarta, 2003.
(10)
Supriadi,SH,Mhum., Etika &
Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
(11)
Daryl Koehn., Landasan Etika
Profesi. Pustaka Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 2000.
(12)
E.Y.Kanter, SH,. Etika Profesi
Hukum (Sebuah Pendekatan Sosio Religius), Storia Grafika, Jakarta, 2001.
(13)
E.Sumaryono, Etika Hukum, Kanisius, Jakarta, 2002.
(14)
Prof.Ko Tjay Sing., Rahasia
Pekerjaan Dokter Dan Advokat, Gramedia Jakarta, Jakarta, 1978.
1. PENGERTIAN SERTA FUNGSI ETIKA
DAN MORAL
Etika berasal dari bahasa
Yunani kuno yakni Ethos adalah ta etha artinya adat kebiasaan.
James J.Spillane SJ berpendapat bahwa etika atau ethics memperhatikan
dan mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia :
(1)
etika merupakan ilmu tentang apa
yang baik dan yang buruk serta tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);
(2)
moral memiliki arti: a) ajaran
tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban,
akhlak, budi pekerti, asusila; b) kondisi mental yang membuat orang tetap
berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, isi hati atau keadaan perasaan.
Moral merupakan landasan
dan patokan bertindak bagi setiap orang dalam kehidupan sehari-hari
ditengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan maupun dalam lingkungan keluarga
dan yang terpenting moral berada pada batin dan atau pikiran setiap insan
sebagai fungsi kontrol untuk penyeimbang bagi pikiran negatif yang akan
direalisasikan.
Moral sebenarnya tidak dapat lepas dari pengaruh sosial budaya,
setempat yang diyakini kebenarannya. Moral selalu mengacu pada baik buruknya
manusia sebagai manusia. Hal tersebut akan lebih mudah kita pahami manakala
mendengar orang mengatakan perbuatannya tidak bermoral. Perkataan tersebut
mengandung makna bahwa perbuatan tersebut dipandang buruk atau salah karena
melanggar nilai-nilai dan norma-norma moral yang berlaku dalam masyarakat.
Franz Magnis suseno
membahas, ajaran tentang moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan,
khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan entah lisan
atau tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia
menjadi manusia yang baik. Ajaran moral bersumberkan kepada berbagai manusia
dalam kedudukan yang berwenang, seperti para bijak, antara lain para pemuka agama
dan masyarakat, tulisan-tulisan para bijak.
Sumaryono
mengklasifikasikan moralitas atas:
1.
moralitas objektif
Moralitas
perbuatan yang melihat perbuatan manusia sebagaimana apa adanya. Jadi perbuatan
itu mungkin baik atau buruk, mungkin benar atau salah terlepas dari berbagai
modifikasi kehendak bebas yang dimiliki oleh setiap pelakunya. Contoh: membunuh
merupakan perbuatan tidak baik.
2.
moralitas subjektif
Moralitas
perbuatan yang melihat perbuatan manusia tidak sebagaimana adanya karena
dipengaruhi oleh sejumlah faktor pelakunya, seperti emosional,latar belakang,
pengetahuan, dsbnya.
3.
moralitas intrinsik
Moralitas
perbuatan yang menentukan suatu perbuatan atas benar atau salah, baik atau
buruk berdasarkan hakikatnya terlepas tidak bergantung dari pengaruh hukum
positif, contohnya berilah kepada orang lain apa yang menjadi haknya. Hal
tersebut pada dasarnya sudah merupakan kewajiban. Meskipun kemudian diatur
dalam hukum positif, tidaklah memberikan akibat yang signifikan.
4.
moralitas ekstrinsik
Moralitas
perbuatan yang menentukan suatu perbuatan benar atau salah, baik atau buruk
berdasarkan hakikatnya bergantung dari pengaruh hukum positif. Hukum positif
dijadikan patokan dalam menentukan kebolehan dan larangan atas suatu perbuatan.
EY. Kanter tidak hanya membahas etika pada wilayah individu akan tetapi
terdapat pendapatnya, bahwa moralitas individu mendapat ruang gerak dalam
wilayah moralitas masyarakat (publik). Moralitas publik adalah moralitas yang
terwujud dan didukung oleh wilayah publik, artinya didukung oleh struktur
kekuasaan politik, ekonomi dan ideologi. Mutu moralitas publik banyak
ditentukan oleh pelaksanaan kepemimpinan dalam suatu negara, misalkan cara
pengambilan keputusan dibuat dengan etis ataukah tidak. Etika merefleksikan
mengapa seseorang harus mengikuti moralitas tertentu atau bagaimana kita
mengambil sikap yang bertanggung jawab ketika berhadapan dengan berbagai
moralitas.
Pengertian moral, menurut
Bartens yang dikutip oleh Abdul Kadir Muhammad menyatakan bahwa kata yang
sangat dekat dengan etika adalah moral. Kata ini berasal dari bahasa latin
“mos”, jamaknya mores yang juga berarti adat kebiasaan. Secara etismologis kata
etika sama dengan kata moral yang mengandung pengertian adat kebiasaan.
Perbedannya dari bahasa asalnya yakni etika berasal dari bahasa
Yunani,sedangkan moral berasal dari bahasa latin.
Pemahaman persamaan antara etika dan moral dapat diartikan sebagai
suatu nilai dan norma yang berfungsi sebagai patokan dan panutan bagi setiap
person ataupun kelompok, maupun dalam sosial kemasyarakatan dalam mengatur
tingkah lakunya.
Liliana Tedjosaputro
membagi moralitas kedalam dua bagian yakni:
(1)
moralitas dapat bersifat
intrinsik, berasal dari diri manusia itu sendiri sehingga perbuatan manusia itu
baik atau buruk terlepas atau tidak dipengaruhi oleh peraturan hukum yang ada;
(2)
moralitas yang bersifat
ekstrinsik, penilaiannya didasarkan pada peraturan hukum yang berlaku, baik
yang bersifat perintah ataupun larangan.
pelaksanaan peraturan hukum
membutuhkan moral dari pelaku. Hukum meskipun harus mengacu pada kepentingan
sosial kemasyarakatan agar tercapai suatu kepastian dan keadilan hukum, namun
produk hukum itu sendiri tidak dapat lepas dari produk politik yang tidak dapat
mengcover seluruh kehendak masyarakat, sehingga pelaksanaan hukum dengan baik
dan ikhlas sesungguhnya bergantung pada moral setiap individu, bukan bergantung
pada sifat memaksa dari hukum. Guna memudahkan pengertian tersebut maka dapat
diberikan suatu gambaran manakala seseorang tidak melaksanakan suatu peraturan
ataupun etika maka orang tersebut merasa
sebagai beban moral.
Shidharta mengemukakan, setiap manusia yang sehat secara rohani pasti
memiliki sikap moral dalam menghadapi keadaan-keadaan yang menyertai perjalanan
hidupnya. Sikap moral ini ada yang hadir begitu saja tanpa harus disertai
pergulatan atas pilihan-pilihan dilematis,namun ada pula sikap moral yang perlu
direnungkan secara mendalam sebelum ditetapkan menjadi suatu keputusan. Sikap
moral itulah yang pada umumnya dijadikan pedoman bagi manusia ketika mengambil
suatu tindakan. Renungan terhadap moralitas tersebut merupakan pekerjaan etika.
Dengan demikian,setiap manusia siapapun dan apapun profesinya membutuhkan
perenungan-perenungan atas moralitas yang terkait dengan profesinya. Dalam konteks
inilah lalu timbul suatu cabang etika yang disebut etika profesi.
Etika merupakan hasil perenungan dari moralitas yang dirasakan perlu
adanya etika dalam kehidupan, karena merupakan kewajiban moral untuk mewujudkan
sesuatu yang baik baik bagi diri sendiri, kelompok, masyarakat, maupun bangsa
dan negara.
Pendapat Imanuel Kant, diterjemahkan oleh Lili Tjahjadi tentang
membedakan moralitas menjadi dua:
(1)
moralitas hetronom, sikap dimana
kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri,
melainkan karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak sipelaku sendiri,
misalnya karena mau mencapai tujuan yang diinginkan ataupun karena perasaan
takut pada penguasa yang memberi tugas kewajiban itu;
(2)
moralitas otonom, kesadaran
manusia akan kewajiban yang ditaatinya sebagai suatu yang dikehendakinya
sendiri karena diyakini sebagai hal yang baik. Didalam moralitas otonom orang
mengikuti dan menerima hukum bukan lantaran mau mencapai tujuan yang
diinginkannya taupun lantaran takut pada penguasa, melainkan itu dijadikan
kewajiban sendiri berkat nilainya yang baik. Moralitas demikian menurut Kant
disebut sebagai otonom kehendak yang merupakan prinsip tertinggi moralitas,
sebab ia berkaitan dengan kebebasan, hal yang hakiki dari tindakan mahluk rasional
atau manusia
Pendapat lain menyatakan
moral berasal dari dalam relung hati yang terdalam sehingga perbuatan baik
ataupun buruk sebenarnya dirinya sendiri sebagai penilai utama, sedangkan etika merupakan manifestasi dari moral yang berasal
dari adat kebiasaan dan sosial kemasyarakatan yang telah berproses menjadi
suatu bentuk etika sebagai pedoman bertindak baik ranah formal maupun non
formal sehingga sering dikatakan suatu perbuatan baik bila dilaksanakan maka
telah beretika serta sebaliknya dikatakan tidak beretika.
Mengutip dari Srisumantri,
bahwa Nilai-nilai etika dan moral harus diletakkan sebagai landasan atau dasar
pertimbangan dalam setiap kegiatan di bidang keilmuan. Tahap tertinggi dalam
kebudayaan moral manusia, ujar Charles darwin, adalah ketika menyadari bahwa
kita seyogyanya mengontrol pikiran kita.
Pikiran merupakan faktor penentu dan pemutus suatu tindakan yang akan
kita lakukan, pikiran yang baik dapat menghasilkan moral atau etika yang baik
sedangkan pikiran yang buruk akan menghasilkan tindakan yang buruk, yang perlu
dipahami bahwa segala gerakan organ tubuh merupakan pikiran sebagai pemimpin.
Pada kondisi manusia yang telah mampu mempergunakan pikiran sebagai filter atau
alat kontrol bagi perbuatannya maka hal yang buruk dapat ditiadakan minimal
dapat ditekan.
Pendapat Alvin Tofler yang
diterjemahkan Koesdyantinah memberi gambaran betapa manusia dewasa ini dan
dimasa-masa mendatang akan mengalami indeks kesementaraan, yang mengakibatkan
manusia terjebak dalam keanekaragaman gaya hidup dan banyak kepribadian.
Menurutnya,”Apabila keanekaragaman bertemu dan berpadu dengan kesementaraan dan
kebaruan, masyarakat akan meroket kesuatu krisis adaptasi yang historis. Kita
akan menciptakan lingkungan yang demikian sementaranya asingnya dan kompleksnya
sehingga mengancam jutaan orang dengan kehancuran adaptif. Kehancuran ini
adalah kejutan masa depan”.
Ajaran-ajaran moral guna
meningkatkan moralitas agar manusia menjadi baik, sedangkan etika bertugas
memberikan argumentasi rasional dan kritis guna mendukung ajaran moral. Dalam
perkembangan jaman yang makin kompleks timbullah tantangan yang dihadapi oleh
ajaran-ajaran moral makin kompleks. Indoktrinasi dalam ajaran-ajaran moral akan
sering dipertanyakan jika tidak lagi mampu memberikan orientasi yang jelas bagi
penganutnya. Kekaburan orientasi itu muncul justru karena bertambah banyaknya
ragam orientasi yang ada. Salah satu dari keragaman itu ditandai oleh berbagai
ideologi yang saling menawarkan diri sebagai pilihan terbaik. Padahal apa yang
baik menurut satu pihak sering dianggap buruk oleh yang lainnya. Etika yang
telah disepakati oleh setiap kelompok akan menepis kehilangan orientasi
sehingga kebenaran sebenarnya bersifat relatif karena kebenaran merupakan
produk pikiran masing-masing sehingga perlu adanya kesepakatan yang tentunya
tidak dapat melepaskan diri dari kebenaran universal.
Lilana memaparkan bahwa,dalam perkembangannya kajian etika, terdapat
banyakaliran-aliran didalamnya. Beberapa aliran penting dalam etika adalah
sebagai berikut:
1.
etika naturalisme ialah aliran
yang beranggapan bahwa kebahagiaan manusia itu didapatkan dengan menurutkan
panggilan natura (fitrah) kejadian manusia sendiri;
2.
etika hedonisme ialah aliran yang
berpendapat bahwa perbuatan susila itu adalah perbuatan yang menimbulkan hedone
(kenikmatan dan kelezatan);
3.
etika utilitarianisme ialah
aliran yang menilai baik dan buruknya perbuatan manusia itu ditinjau dari kecil
dan besarnya manfaatbagi manusia (utility=manfaat);
4.
etika idealisme ialah aliran yang
berpendirian bahwa perbuatan manusia janganlah terikat pada sebab musabab
lahir, tetapi haruslah berdasarkan pada prinsip kerohanian (idea) yang lebih
tinggi;
5.
etika vitalisme ialah aliran yang
menilaibaik buruknya perbuatan manusia itu sebagai ukuran ada tidak adanya daya
hidup (vital) yang maksimum mengendalikan perbuatan itu;
6.
etika theologis ialah aliran yang
berkeyakinan bahwa ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia itu dinilai
dengan sesuai dan tidak sesuainya perbuatan itu dengan perintah Tuhan
(Theos=Tuhan).
Franz Magnis Suseno mengemukakan pendapat tentang, etika berfungsi
untuk membantu manusia mencari orientasi secara kritis dalam berhadapan dengan
moralitas yang membingungkan. Etika adalah pemikiran sistematis dan yang
dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang
lebih mendasar dan kritis. Pengertian ini perlu dicari dengan landasan
pemikiran sebagai berikut:
1.
kita hidup dalam masyarakat yang
semakin pluralistik, juga dalam bidang moral. Dalam keseharian kita banyak
bertemu dan bergaul dengan berbagai orang dan karakter yang serba berbeda dari
suku yang beragam, daerah asal yang bervariasi, agama berbeda, dan sebagainya.
Kita ada ditengah-tengah pandangan mengenai etika dan moral yang beraneka ragam
bahkan tidak jarang saling bertentangan sehingga kita bingung mengikuti
moralitas yang mana. Untuk menentukan pilihan itulah perlu refleksi
kritis etika.
2.
Kita hidup dalam masa
transformasi masyarakat yang kian lama menuju modernisasi. Meski masih belum
dijumpai batasan baku tentang makna modernisasi, konsep ini membawa perubahan
besar dalam struktur kebutuhan dan nilai masyarakat yang akibatnya menentang
pandangan-pandangan moral tradisional.
3.
Proses perubahan sosial budaya
dan moral ternyata tidak jarang digunakan berbagai pihak untuk memancing di air
keruh. Adanya pelbagai ideologi yang ditawarkan sebagai penuntun hidup,
masing-masing dengan ajarannya sendiri tentang bagaimana manusia harus hidup.
Etika dapat dijadikan tatanan untuk mengkritisi secara objektif dan memberi
penilaian agar tidak mudah terpancing, tidak naif, atau ekstrem untuk
cepat-cepat menolak hanya karena masih relatif baru dan belum biasa.
4.
Etika juga diperlukan oleh kaum
agama yang disatu pihak menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman kepercayaan
mereka, dilain pihak sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut-takut dan dengan
tidak menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah
itu
Refleksi kritis etika tidak hanya untuk menentukan moralitas mana yang
dipakai karena terdapat norma yang bertentangan. Refleksi kritis etika
merupakan alat untuk memecahkan permasalahan moral, seperti perubaham moral
yang diakibatkan oleh proses transformasi menuju modernisasi yang menentang
keberadaan pandangan moral tradisional.
Etika
yang berkaitan dengan etika profesi merupakan etika yang senantiasa mengikuti
perkembangan modernisasi yang tak dapat dibendung, sehingga perlunya etika yang
kritis untuk mengatasi kendala yang ada. Tidak dapat dipungkiri penyandang
profesi, pemuka masyarakat/adat, filosof, hukum yang berfungsi sebagai salah
satu faktor penentu etika yang kritis.
Keadilan, kepastian hukum, equality before the law merupakan harapan
moral masyarakat yang masih terus diperjuangkan.
2. ETIKA CABANG DARI FILSAFAT
Filsafat dapat dimaknai
sebagai pandangan hidup, tentunya pandangan hidup yang cinta akan
kebijaksanaan, disis lain filsafat dapat diartikan sebagai ilmu yang selalu
mencari hakekat yang terdalam.
Filsafat sebagai pandangan hidup merupakan suatu produk nilai atau
sistem nilai yang diyakini kebenarannya dan dapat dijadikan pedoman perilaku
oleh individu, kelompok, masyarakat.
Pada prinsipnya cabang
filsafat dapat dikelompokkan pada tiga cabang filsafat yaitu:
(1)
ontologi;
(2)
epistemologi;
(3)
aksiologi.
Ontologi adalah cabang filsafat yang
menyelidiki tentang keberadaan sesuatu. Epistemologi adalah cabang filsafat
yang menyelidiki tentang asal, syarat susunan, metode, dan validitas
pengetahuan. Aksiologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki tentang
hakikat nilai, kriteria, dan kedudukan suatu nilai. Pada kelompok aksiologi
dapat dimasukkan cabang-cabang filsafat etika dan estetika. Dapat disimpulkan
etika merupakan cabang dari filsafat tentang hakikat nilai atau aksiologi yang
merupakan nilai berkaitan dengan sikap dan perilaku manusia atau kelompok
manusia. Etika membahas tentang nilai-nilai yang baik bagi manusia dan nilai
inilah dikenal sebagi moral.
Menurut EY.Kanter : Etika sama
artinya dengan filsafat moral atau ilmu tentang moralitas. Etika bukan sumber
tambahan bagi ajaran moral melainkan filsafat atau pemikiran rasional-kritis
dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Jadi etika bukan sebuah ajaran
melainkan sebuah ilmu.
Filosof Plato
mengungkapkan filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.
Filsafat merupakan ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang didalamnya
mencakup empat persoalan sebagai berikut:
A)
apakah yang dapat kita ketahui ?
Pertanyaan tersebut dijawab oleh metafisika (ilmu pengetahuan yang berhubungan
dengan hal-hal yang non fisik atau tidak terlihat).
B)
apakah yang boleh kita kerjakan ?
Pertanyaan tersebut dijawab oleh etika.
C)
sampai dimananakah pengharapan
kita ? Pertanyaan tersebut dijawab oleh agama.
D)
apakah yang dinamakan manusia ?
Pertanyaan tersebut dijawab oleh antropologi (ilmu tentang manusia).
Mengamati pemikiran plato maka makin mendukung opini bahwa etia
merupakan bagian dari filsafat hal tersebut merupakan jawaban terhadap tujuan
utama dari filsafat yang berarti cinta akan kebijaksanaan adalah untuk kebaikan
umat manusia yang bijaksana penuh dengan kedamaian. Guna mendukung pendapat
Plato dapat kita padukan dengan pendapat Aristoteles yang dikutip dari I Gede
A.B.Wiranata sebagai berikut:
“ Pembagian filsafat menurut Aristoteles
a. Filosofia teoritika/spekulatif
Filsafat yang bersifat
objektif, yang terdiri atas:
1.
fisika (mengkaji tentang dunia
materiil);
2.
matematika (mengkaji tentang
barang menurut kuantitasnya);
3.
metafisika (mengkaji tentang
“ada”).
b. Filosofia praktika (Filsafat yang memberi petunjuk dan berbagai
pedoman mengenai tingkah laku hidup dan kesusilaan yang seharusnya
dilakukan/diperbuat), yang meliputi:
1.
etika (mengkaji tentang
kesusilaan dalam hidup perseorangan);
2.
ekonomia (mengkaji tentang
kesusilaan dalam hidup kekeluargaan);
3.
politika (mengkaji tentang
kesusilaan dalam tantanan hidup kenegaraan).
Filosofia produktiva (pencipta) (filsafat yang mengkaji dan membimbing
serta menuntun manusia tentang pengetahuan sehingga menjadikan manusia
produktif melalui sebuah ketrampilan yang bersifat khusus)”.
Aristoteles merupakan tokoh filsafat yang menempatkan etika sebagai
pembahasan utama dalam tulisannya “Ethika Nichomachela” dengan pendapatnya,
tata pergaulan dan penghargaan seorang manusia, yang tidak didasarkan oleh
egoisme atau kepentingan individu, akan tetapi didasarkan kepada hal-hal yang
alruistik, yaitu memperhatikan orang lain.
Menurut Srisumantri yang dikutip dari Liliana, filsafat dalam
perkembangannya antara lain mencakup:
1.
epistimologi (filsafat
pengetahuan);
2.
etika (filsafat moral);
3.
estetika (filsafat seni);
4.
metafsika;
5.
filsafat politik;
6.
filsafat;
7.
filsafat agama;
8.
filsafat pendidikan;
9.
filsafat hukum;
10.
filsafat sejarah;
11.
filsafat matematika.
Sebagai bagian filsafat dan bahkan sebagai salah satu cabang filsafat
yang paling tua, maka etika juga dikembangkan sebagai bagian dari kajian ilmu
pengetahuan.
Filosof H.De Vos juga menyatakan etika sebagai bagian dari
filsafat.
Etika dapat dibedakan
menjadi, etika umum dan etika khusus. Etika umum membahas tentang prinsip moral,
pengertian dan fungsi etika, tanggung jawab, suara hati. Etika khusus merupakan
etika yang sudah dikaitkan dengan konteks bidang tertentu, kehidupan pribadi,
antar pribadi.
Etika dapat dikaji dari
berbagai aspek, akan tetapi secara garis besar terdapat tiga aspek yang dominan
dalam mempelajari etika yaitu:
1)
aspek normatif
aspek
normatif ialah aspek yang mengacu pada norma-norma/standar moral yang
diharapkan untuk mempengaruhi perilaku, kebijakan, keputusan, karakter
individual, dan struktur profesional. Dengan aspek ini diharapkan perilaku
dengan segala unsur-unsurnya tetap berpijak pada norma, baik norma-norma
kehidupan bersama ataupun norma-normamoral yang diaturdalam standar profesi
bagi kaum profesi;
2)
aspek konseptual
diarahkan
pada penjernihan konsep-konsep/ide-ide dasar, prinsip-prinsip,
problema-problema dan tipe-tipe argumen yang dipergunakan dalam membahas
isu-isu moral dalam wadah kode etik. Kajian konseptual ini juga untuk
mempertajam pemahaman-pemahaman kode etik dengan tetap menekankan pada
kepentingan masyarakat dan organisasi profesi itu sendiri;
3)
aspek deskriptif
kajian
ini berkaitan dengan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dan spesifikasi yang
dibuat untuk memberikan gambaran tentang fakta-fakta yang terkait dengan
unsur-unsur normatif dan konseptual. Aspek ini memberikan informasi tentang
fakta-fakta yang berkembang, baik di masyarakat maupun dalam organisasi
profesi, sehingga penanganan aspek normatif dan konseptual dapat segera
direalisasikan.
Etika merupakan cabang
filsafat sebagai ilmu yang merupakan philosopical study of morality, sehingga
subyek yang melakukan etika adalah manusia, dengan demikian etika sebagai
filsafat manusia.
3. PENGERTIAN PROFESI DAN PROFESI HUKUM
Pekerjaan pada umumnya berbeda dengan
profesi baik dari segi ketrampilan maupun tanggung jawab yang diembannya.
Berkaitan dengan pekerjaan pada umumnya Cycle Kluckohn yang dikutip oleh
koentjaraningrat menyatakan: antropolog seperti Cycle Kluckohn dan Florence
Kluckohn juga menempatkan diri untuk menelaah hakikat kerja (karya) bagi
manusia. Menurut mereka ada nilai-nilai budaya yang memandang kerja itu sekedar
untuk memenuhi nafkah, namun ada pula yang memandang kerja sebagai upaya
menggapai kedudukan dan kehormatan. Orientasi nilai budaya ketiga dari hakikat
kerja adalah bahwa bekerja merupakan upaya terus menerus untuk berkarya yakni
dengan mencapai hasil yang lebih baik dan lebih baik lagi.
Thomas Aquinas berpendapat, perwujudan
kerja mempunyai empat tujuan sebagai berikut:
1.
dengan bekerja, orang dapat
memenuhi apa yang menjadi kebutuhan hidup sehari-harinya;
2.
dengan adanya lapangan kerja,
maka pengangguran dapat dihapuskan/dicegah. Ini juga berarti bahwa dengan tidak
adanya pengangguran,maka kemungkinan timbulnya kejahatan dapat dihindari pula;
3.
dengan surplus hasil kerjanya,
manusia juga dapat berbuat amal bagi sesamanya;
4.
dengan kerja orang dapat
mengontrol atau mengendalikan gaya hidupnya.
Profesi oleh berbagai ahli
diartikan sebagai pekerjaan dengan keahlian khusus menuntut pengetahuan tinggi,
dengan berbagai pelatihan khusus.
Menurut pendapat Brandels yang dikutip oleh A.Pattern Jr, dikutip dari
Supriadi, untuk dapat disebut sebagai profesi,pekerjaan itu sendiri harus
mencerminkan adanya dukungan yang berupa:
1.
ciri-ciri pengetahuan (intellectual
character);
2.
diabadikan untuk kepentingan
orang lain;
3.
keberhasilan tersebut bukan
didasarkan pada keuntungan finansial;
4.
keberhasilan tersebut antara lain
menentukan berbagai ketentuan yang merupakan kode etik, serta pula bertanggung
jawab dalam memajukan dan penyebaran profesi yang bersangkutan;
5.
ditentukan adanya standar
kualifikasi profesi.
Profesi bukan hanya
dibutuhkan oleh seseorang atau kelompok akan tetapi menyangkut kebutuhan publik
sehingga peran negara dibutuhkan untuk mengesahkan/mengangkat seseorang menjadi
penyandang profesi agar meniadakan/meminimalkan kerugian atau tindakan yang
tidak bertanggung jawab terhadap pihak yang membutuhkan jasa profesi serta
tidak merugikan kepentingan publik. Berkaitan dengan pendapat tersebut, maka
terdapat pendapat Daryl Koehn yang dikutip dari Supriadi mengatakan meskipun
kriteria untuk menentukan siapa yang memenuhi syarat sebagai profesional amat
beragam, ada lima ciri yang kerap disebut kaum profesional sebagai berikut:
1)
mendapat izin dari negara untuk
melakukan suatu tindakan tertentu;
2)
menjadi anggota
organisasi/pelaku-pelaku yang sama-sama, mempunyai hak suara yang
menyebarluaskan standar dan/atau cita-cita perilaku yang saling mendisiplinkan
karena melanggar standar itu;
3)
memiliki pengetahuan atau
kecakapan “esoterik” (yang hanya diketahui dan dipahami oleh orang-orang
tertentu saja) yang tidak dimiliki oleh anggota-anggota masyarakat lain;
4)
memiliki otonomi dalam
melaksanakan pekerjaan mereka,dan pekerjaan itu tidak amat dimengerti oleh masyarakat
yang lebih luas;
5)
secara publik dimuka umum
mengucapkan janji untuk memberi bantuan kepada mereka yang membutuhkan dan
akibatnya mempunyai tanggung jawab dan tugas khusus.
Profesi hukum memiliki ciri tersendiri dibandingkan dengan profesi
lainnya,karena profesi ini berkaitan langsung dengan pengaturan kehidupan
sosial kemasyarakatan, kemudian berpengaruh pada kehidupan berbangsa dan
bernegara. Profesi hukum secara khusus berhubungan dengan masyarakat pencari
keadilan. Profesi hukum sebagai profesi diantara profesi lain tidak dapat lepas
atau berdiri sendiri sebagai suatu gambaran pada saat suatu perusahaan dalam
proses go public maka selain profesi hukum berperan juga profesi
dibidang ekonomi ikut andil didalamnya, sehingga interaksi antar profesi merupakan ciri dari profesi. Perkembangan
hukum dewasa ini akibat pemikiran filosofi bahwa manusia memiliki hak dasar
yang harus dilindungi sebagai Hak Asasi Manusia yang harus dilindungi sebagai
hak hukum yang tertinggi. Adapun Hak Asasi manusia yang berlaku universal,
meliputi:
1)
hak-hak asasi pribadi (personal
rights), merupakan kebebasan menyatakan pendapat, memeluk agama,
beraktifitas dan sebagainya;
2)
hak-hak asasi ekonomi (property
rights), merupakan hak memiliki sesuatu, memperalihkannya, seperti membeli
dan menjualnya, serta memanfaatkannya;
3)
hak-hak asasi dan kebudayaan (social
and cultural rights), seperti hak untuk memilih pendidikan, mengembangkan
kebudayaan, dsb.
4)
hak-hak asasi untuk mendapatkan
perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan;
5)
hak-hak asasi untuk mendapatkan
perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural rights).
Perkembangan
penegakan hukum dan/ hak asasi manusia menimbulkan profesi hukum makin
berkembang bahkan pada Undang-undang nomor: 18 Tahun 2003, tentang Advokat
jelas mengatur Advokat sebagai oficium Nobille (profesi terhormat) serta
sebagai pembela Hak Asasi Manusia.
Sebagai suatu kriteria
profesi hukum dapat ditelaah dari pertemuan para Advokat tanggal 27 Juni
1971dalam piagam Baturaden yang merumuskan tentang unsur-unsur untuk dapat
disebut profession, yaitu:
a)
harus ada ilmu (hukum) yang
diolah didalamnya;
b)
harus ada kebebasan, tidak boleh
ada dicust verhouding (hubungan dinas) hierarkis.
c)
mengabdi kepada kepentingan umum,
mencari nafkah tidak boleh menjadi tujuan;
d)
ada clienten verhouding, yaitu
hubungan kepercayaan diantara Advokat dan client;
e)
ada kewajiban merahasiakan
informasi dari client dan perlindungan dengan hak merahasiakan itu oleh
undang-undang;
f)
ada imuniteit terhadap penuntutan
tentang hak yang dilakukan dalam tugas pembelaan;
g)
ada kode etik dan peradilan kode
etik (tuchtrechtspraak);
h)
ada honorarium yang tidak perlu
seimbang dengan hasil pekerjaan atau banyaknya usaha atau pekerjaan yang
dicurahkan (orang tidak mampu harus ditolong tanpa biaya dan dengan usaha yang
sama).
Batasa profesi yang diberikan tidak dapat dikategorikan sebagai profesi
pada umumnya. Batasan profesi yang dapat berlaku pada profesi hukum pada
umumnya ditetapkan pada tahun 1977 oleh Peradin dalam seminar pembinaan profesi
hukum sebagai berikut:
1.
dasar ilmiah berupa ketrampilan
untuk merumuskan sesuatu berdasarkan teori akademi dan memerlukan sesuatu dasar
pendidikan yang baik dan diakhiri dengan suatu sistem ujian;
2.
praktik sesuatu. Adanya suatu
bentuk perusahaan, yang berdiri, sehingga memungkinkan dipupuknya hubungan
pribadi dalam memecahkan kebutuhan para klien yang bersifat pribadi pula (person
by person basis) diiringi dengan sistem pembayaran honorarium;
3.
fungsi penasihat. Fungsi sebagai
penasihat sering-sering diiringi dengan fungsi pelaksanaan dari pelaksana dari
penasihat yang diberikan;
4.
jiwa mengabdi. Adanya pandangan
hidup yang bersifat objektif dalam
menghadapi persoalan, tidak mementingkan diri sendiri, tidak mengutamakan
motof-motif yang bersifat materiil;
5.
adanya suatu kode yang
mengedalikan sikap dari pada anggota.
Kebutuhan klien terhadap kinerja profesi sebatas keahlian dan tuntutan
profesinya tidak menyangkut pribadi penyandang profesi sehingga terdapat
batasan yang jelas tidak menyimpang dari segi profesionalisme kinerja profesi.
4. PROFESI LUHUR
Franz Magnis Suseno
membedakan profesi menjadi profesi pada umumnya dan profesi luhur. Profesi
luhur merupakan profesi yang menekankan pada pengabdian kepada masyarakat
sehingga merupakan suatu pelayanan pada manusia atau masyarakat dengan motivasi
utama bukan untuk memperoleh nafkah dari pekerjaannya.
Profesi pada umumnya terdapat dua hal yang harus ditegakkan yaitu,
menjalankan profesinya dengan bertanggung jawab baik terhdap pekerjaan maupun
hasil dari pekerjaan, serta tanggung jawab terhadap dampak pekerjaan yang
dilakukan tidak sampai merusak lingkungan hidup (berkaitan dengan prinsip
kedua, hormat terhadap hak-hak orang lain.
Terdapat pula dua kategori untuk profesi luhur yaitu, mendahulukan
orang yang dibantu, serta mengabdi pada tuntutan luhur profesi.
Pelaksanaan profesi luhur
yang baik menurut Magnis Suseno harus didukung dengan moralitas yang tinggi.
Berkaitan dengan moralitas tinggi magnis menyatakan terdapat tiga ciri :
1)
berani berbuat dengan bertekad
untuk brtindak sesuai dengan tuntutan profesi;
2)
sadar akan kewajibannya, dan
3)
memiliki idealisme yang tinggi.
Profesi luhur tidak hanya menjadi pendapat para ahli akan tetapi telah
diterapkan dalam peraturan perundangan, seperti Undang-undang nomor: 18 tahun
2003, tentang Advokat. Catur wangsa penegak hukum seperti
Polisi,Jaksa,Hakim,Advokat.
5. ETIKA PROFESI HUKUM
Etika sebagai cabang
filsafat merupakan ilmu terapan atau ilmu yang menyangkut praktis kehidupan.
Etika profesi hukum merupakan etika yang berasal dari kenyataan empiris dalam
praktek hukum sehingga tidak dapat dikaitkan dengan prinsip-prinsip moral
secara umum.
Etika profesi agar menjadi etika
yang berkualitas juga harus merujuk dari berbagai cabang ilmu hukum seperti
sejarah hukum, psikologi hukum, dan sosiologi hukum.
Etika profesi hukum temasuk kategori etika normatif yang berupaya
menindaklanjuti hal-hal yang telah digambarkan secara objektif. Etika normatif
memberikan penilaian sikap baik dan buruk, selanjutnya penyandang profesi dapat
memilihnya.
Penyandang profesi hukum
dalam melaksanakan tugas profesinya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat
etis, karena eksis untuk melayani anggota masyarakat ketika masyarakat
berhadapan langsung dengan suatu otoritas kekuasaan. Sebagai contoh seorang
terdakwa membutuhkan jasa Advokat pada saat menghadapi otoritas peradilan dan
memang Advokat oleh peraturan perundangan diberikan kewenangan untuk melakukan
hal tersebut, maka profesi hukum harus bersikap dan berprilaku menurut kaidah
hukum serta kaedah sosial. Kewenangan inilah menyebabkan profesi hukum
membutuhkan muatan moralitas yang lebih tinggi dibandingkan profesi lain.
Sebagian ahli hukum dan/ ahli etika beranggapan profesi hukum harus
tunduk pada kaedah hukum, dengan tanpa memperhatikan kaedah sosial selain hukum
seperti adat setempat yang berkembang dan berlaku dimasyarakat. Pandangan etis
atau tidak etis tidak hanya dikalangan profesi hukum itu sendiri karena harus
berhubungan dengan masyarakat dan masyarakat tetaplah sebagai penilai utama
apakah penegak hukum bermoral ataukah tidak. Tidak dapat dipungkiri fungsi
profesi hukum untuk melayani kepentingan masyarakat dan masyarakat memiliki hak
untuk melaporkan kepada dewan kehormatan apabila profesi hukum dipandang
melanggar etika profesi. Sesuai dengan pendapat Sidharta: “disisi lain, para
penyandang profesi hukum senantiasa bersinggungan dengan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut ada yang bersifat tetap tetapi ada pula
yang mengalami perubahan, mengikuti perkembangan masyarakat pada suatu temapat
dan waktu tertentu. Nilai-nilai tetap ini adalah nilai-nilai dasar, dan yang
cenderung berubah itu adalah nilai-nilai instrumentalnya.
Karena interaksi ini,
profesi hukum bukan lagi profesi yang bebas nilai. Ia juga bukan profesi yang
demikian eksklusifnya yang berdiri diatas menara gading dan karena itu memiliki
sistem nilai yang secara ekstrem berbeda dengan nilai-nilai masyarakat pada
umumnya. Profesi hukum adalah profesi yang berintegrasi dengan masyarakat luas,
sehingga nilai-nilai yang dianggap baik oleh masyarakat juga harus dijadikan
ukuran dalam etika profesi tersebut, demikian pula sebaliknya”.
UBI JUS INCERTUM,IBI JUS NULLUM ><SUMMUN IUS SUMMA INJURIA.
Kaum legisme= asas hukum harus ditegakkan, sedangkan kaum
realisme=kepastian hukum dikejar akan melukai hukum membuat hukum menjadi kaku
karena menggeneralisir semua keadaan.
Etika profesi harus dinamis mengikuti perkembangan masyarakat sesuai
dengan dengan prinsip-prinsip moral yang berkembang dan hidup di masyarakat,
karena logika dari terbentuknya hukum karena kehendak masyarakat guna
kepentingan masyarakat. Cicero mengemukakan dimana ada masyarakat disana pasti
ada hukum (ubi societas ibi ius).
Beberapa
nilai moral profesi hukum yang harus mendasari kepribadian profesional hukum
sebagai berikut:
1)
kejujuran. Faktor kejujuran
memegang kendali yang terbesar untuk mengarah pada profesional karena profesi
mempunyai keahlian khusus,sedangkan masyarakat (orang awam) tidak/kurang
memahami dapat dengan mudah menjadi obyek pembohongan/ penipuan;
2)
bersikap apa adanya. Mempunyai
pengertian menghayati dan menunjukkan diri dengan apa adanya, berani memberi
nasihat kepada klien sesuai dengan kondisi hukum klien
3)
bertanggung jawab. Dalam
melaksanakan tugas profesinya dapat membantu segala persoalan yang berkaitan
dengan profesinya, menjalankan tugas sesuai dengan peraturan perundangan dan
kode etik. Menuntaskan segala tanggung jawab yang diembannya hingga tuntas atau
telah ada penyelesaian dan pemberesan.
4)
kemandirian moral. Mengandung
pengertian melaksanakan etika yang telah disepakati bersama oleh organisasi
profesi yang dituangkan dalam kode etik. Tidak terpengaruh oleh pendapat pihak
lain, sehingga berpegang teguh pada moral profesinya dengan analisa yuridis
yang mandiri.
5)
Keberanian. Merupakan keberanian
untuk bersikap dalam melaksanakan tugasnya dengan segala resiko yang dihadapi
sesuai asas dan ketentuan hukum. Berani menolak segala bentuk korupsi kolusi
nepotisme.
6)
Kesetiaan. Setia terhadap hukum
dan penegakan hukum serta kode etik. Setia tehadap profesi mulia yang
diembannya, setia terhadap moralitas yang tinggi, Setia terhadap bangsa dan
negara.
6. MANFAAT ETIKA PROFESI & TANGGUNG JAWAB
PROFESI
Etka profesi pada awalnya
terbentuk guna kepentingan kelompok profesi itu sendiri karena bermula dari
pemasalahan-permasalahan yang imbul, dalam perkembangannya sesuai dengan situasi dan kondisi ilmu
pengetahuan filsafat yang terkait dengan etika maka berkembang menjadi lebih maju sesuai dengan hasil penelitian
empiris yang didukung oleh norma yang ada diperoleh suatu hipotesa dan
sampailah pada hasil akhir profesi guna
kepentingan masyarakat dengan konsekuensi logis etika profesi merefleksikan
kinerjanya secara etis atas kebutuhan masyarakat.
Etika profesi merupakan bagian dari kebutuhan profesi dalam sistem
pergulatan profesi baik diantara profesi itu sendiri maupun terhadap
masyarakat.
Perkembangan masyarakat yang
makin majemuk , mengglobal, berkembang maju baik bidang ekonomi, teknologi,
serta bidang yang lain. Komunikasi antar daerah maupun negara makin cepat
membuktikan mobilitas masyarakat makin meninggi dan tidak terkendali. Seiring
dengan hal tersebut maka peran profesi makin dibutuhkan baik dari segi kualitas
maupun kuantitas. Kualitas dari profesi harus makin meningkat guna mengimbangi
kemajuan jaman serta kuantitas dari bertambahnya jenis kebutuhan penanganan
oleh profesi akibat kemajuan dari berbagai bidang merupakan tantangan profesi
yang harus didukung perangkat etika profesi yang memadai sebagai suatu tanggung
jawab profesi. Tanggung jawab etika profesi tidak dapat lepas dari manfaat
etika profesi. Adapun manfaat etika profesi dalam perkembangan terdiri dari:
(a)
manfaat terhadap diri sendiri.
Penyandang profesi memiliki kesempatan luas untuk mengabdikan diri demi
kepentingan publik.
(b)
manfaat terhadap masyarakat.
Masyarakat dapat memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhannya mengingat
profesi memiliki keahlian khusus yang tidak dimiliki pihak lain.
(c)
Manfaat terhadap negara. Penyandang
profesi dapat berperan serta memajukan negara dengan keahlian bidang tertentu
yang dimilikinya. Segala bidang dalam aktifitas negara saling terkait, apabila
segala bidang kehidupan dapat berjalan dengan maksimal maka mekanisme
pembangunan dalam segala bidang menjadi maju yang berdampak pada kemajuan
negara.
(d)
Manfaat terhadap hukum. Negara
kita adalah negara hukum dan hukum sebagai panglima yang tertinggi. Profesi
pada bidangnya masing-masing tetap hukum menjadi panutan bagi profesi sesuai
pandangan segala segi kehidupan harus berpatokan pada hukum yang berlaku.
Profesi hukum merupakan profesi yang terdepan dalam berupaya menegakkan hukum
berfungsi sebagai panutan bagi profesi selain hukum dan masyarakat.
Emmanuel levinas menyatakan respondeo ergo
sum (aku bertanggung jawab, jadi aku ada).
Setiap orang memiliki kebebasan baik secara
natural maupun secara yuridis untuk menentukan sikap dalam kehidupan
sehari-hari termasuk memilih pekerjaan/profesi yang akan digeluti. Kebebasan
tersebut menimbulkan konsekuensi logis terhadap dampak positif maupun negatif
yang harus diterima dengan analogi segala langkah kehidupan tidak dapat lepas
dari efek positif dan efek negatif. Tanggung jawab tidaklah dapat lepas dari
akibat kebebasan memilih yang harus diterima dengan lapang dada.
Kebebasan tidaklah dapat dilaksanakan dengan
sebebas-bebasnya mengingat kebebasan dapat menyentuh hak hukum atau kebebasan
orang lain. Kebebasan harus diartikan sebagai kebebasan hukum yakni kebebasan
sesuai ketentuan hukum yang berupaya mengcover moral , hukum kebiasaan, dan
adat istiadat yang berlaku dimasyarakat.
Tanggung jawab merupakan bentuk pelaksanaan
kewajibannya dan yang tak kalah pentingnya tanggung jawab atas kesalahan yang
telah diperbuat. Tanggung jawab oleh sebagian ahli hukum diartikan sebagai
tanggung gugat. Tanggung gugat sebenarnya merupakan tanggung jawab atas
tuntutan hukum, tapi disisi lain terdapat tanggung jawab moral yang tidak dapat
digantikan oleh tanggung gugat secara hukum, bahkan moral pertanggungjawabannya
diwakilkan pada kode etik melalui Dewan Kehormatan. Terdapat pertanggungjawaban
lain yang tidak dapat terselesaikan yaitu tanggung jawab hati nurani serta
dampaknya terhadap nama baik penyandang profesi.
7. ETIKA BERKAITAN DENGAN HUKUM
Etika merupakan bagian dari
filsafat yang selalu berupaya menuju pada kebaikan kehidupan manusia baik
secara lahir maupun batin, sedangkan hukum untuk mengatur tata kehidupan
manusia baik individu, kelompok maupun masyarakat/publik, sehingga hak orang
lain tidak berbenturan dengan hak orang lain serta adanya keseimbangan antara
hak dan kewajiban.
Paul Scholten menyatakan, bahwa baik hukum maupun moral (etika)
kedua-duanya mengatur perbuatan-perbuatan manusia sebagai manusia. Keduanya
sama, yaitu mengatur perbuatan-perbuatan kita.
Hukum dan etika memiliki nilai kemanfaatan yang sama yaitu
mencita-citakan tertib kehidupan masyarakat serta memberi jawaban atas
kebutuhan keadilan masyarakat dengan penegakan nilai-nilai kebenaran.
Etika dalam perkembangannya dikodifikasikan dalam bentuk kode etik oleh
setiap kelompok sosial bahkan didukung berlakunya oleh peraturan perundangan
sehingga kode etik itu sendiri bukanlah etika pada umumnya tetapi menyatu
dengan ketentuan hukum yang berlaku. Meskipun demikian tetap memberikan nuansa
yang berbeda dari segi sanksi yang dijatuhkan bila terjadi pelanggaran. Sanksi
pelanggaran kode etik sesuai dengan kesepakatan kelompok yang dituangkan dalam
kode etik, pada umumnya dalam bentuk sanksi administratif. Kewenangan atas
keputusan melebihi sanksi administratif merupakan kewenangan peraturan
perundangan dalam hal ini otoritasnya diserahkan kepada para penegak hukum.
8. KODE ETIK PROFESI
Kode etik merupakan
prinsip-prinsip yang merupakan kesatuan moral yang melekat pada suatu profesi
sesuai kesepakatan organisasi profesi yang disusun sesara sistematis.
Kode etik dapat dikatakan merupakan sekumpulan etika yang telah
tersusun dalam bentuk peraturan berdasarkan prinsip moral pada umumnya yang
disesuaikan dan diterima sesuai jiwa profesi guna mendukung ketentuan hukum
yang berlaku demi kepentingan profesi, pengguna jasa profesi,
masyarakat/publik, bangsa dan negara.
Pengaturan etika disusun dalam bentuk kode etik dipandang penting
mengingat jumlah penyandang profesi makin banyak sehingga membutuhkan ketentuan
baku yang mampu mengendalikan serta mengawasi kinerja profesi. Selain makin
banyaknya penyandang profesi, juga menghindari kesalahan profesi tanpa ada
pertangungjawaban dengan mengotak-atik kelemahan etika guna mengamankan
penyandang profesi itu sendiri. Faktor lain yang mendukung dibentuknya kode
etik secara baku karena tuntutan masyarakat yang makin kompleks dan kritis
sehingga ada kepastian hukum tentang benar atau tidaknya penyandang profesi
dalam menjalankan tugasnya.
Penegakan terhadap pelaksanaan
kode etik secara konsekuen dilakukan oleh organisasi profesi sebagai pencetus
lahirnya kode etik. Keberadaan organisasi profesi dipandang penting untuk
menjatuhkan sanksi bagi pelanggar kode etik. Sanksi-sanksi diharapkan lebih
efektif karena telah dibahas diantara penyandang profesi, sehingga terdapat
beban moral bagi pelanggar yang secara psikis merasa dikucilkan dalam pergaulan
profesi bahkan akan menjadi lebih berarti manakala organisasi profesi telah
diberikan kewenangan oleh Undang-undang untuk memberikan Ijin praktek.
Kewenangan tersebut dapat mengakibatkan
pencabutan ijin praktek. Selain organisasi sebagai penegakan etika, juga
merupakan wadah bagi pengembangan profesi, sebagai tempat tukar menukar informasi,
membahas dan menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan profesi, membela
hak-hak anggotanya.
Menurut E.Holloway dikutip dari Shidarta, kode etik itu memberi
petunjuk untuk hal-hal sebagai berikut:
1.
hubungan antara klien dan
penyandang profesi;
2.
pengukuran dan standar evaluasi
yang dipakai dalam profesi;
3.
penelitian dan
publikasi/penerbitan profesi;
4.
konsultasi dan praktik pribadi;
5.
tingkat kemampuan kompetensi yang
umum;
6.
administrasi personalia;
7.
standar-standar untuk pelatihan.
Ditambahkan oleh Holloway,
bahwa kode etik (standar etika) tersebut mengandung beberapa tujuan sekaligus,
yaitu untuk:
1.
menjelaskan dana menetapkan
tanggung jawab kepada klien, lembaga (institution), dan masyarakat pada
umumnya;
2.
membantu penyandang profesi dalam
menentukan apa yang harus mereka perbuat kalau mereka menghadapi dilema-dilema
etis dalam pekerjaannya;
3.
membiarkan profesi menjaga
reputasi (nama baik) dan fungsi profesi dalam masyarakat melawan kelakuan
buruk dari anggota-anggota tertentu dari
profesi itu;
4.
mencerminkan pengharapan moral
dari komunitas masyarakat (atas pelayanan penyandang profesi itu kepada
masyarakat);
5.
merupakan dasar untuk menjaga
kelakuan dan integritas atas kejujuran dari penyandang profesi itu sendiri.
Kode etik oleh Edgar Bodenheimer dapat dikelompokkan kedalam jenis
aturan yang disebut autonomic legislation. Biasanya kode etik tidak
pernah dianggap sebagai bagian dari hukum positif suatu negara, Namun disadari
atau tidak, kode etik dapat saja secara diam-diam diadopsi menjadi salah satu
jenis sumber formal hukum.
Perkembangan hukum di
Indonesia terdapat beberapa Undang-undang yang mencantumkan kode etik harus
ditaati sehingga kode etik merupakan bagian dari hukum positif yang akan
menimbulkan sanksi hukum bagi pelanggar disisi lain penegakan kode etik juga
merupakan tujuan dari hukum positif. Adapun Undang-undang tersebut antara lain:
1)
pasal 17 ayat 1 huruf f
Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1999, tentang perlindungan konsumen, melarang
pelaku usaha periklanan memproduksi iklan yang melanggar etika dan/atau
ketentuan peraturan perundangan yang berlaku;
2)
Undang-Undang Nomor: 18 Tahun
2003, tentang Advokat;
3)
Undang-Undang Nomor: 30 Tahun
2004, tentang jabatan Notaris, pada pasal 85 disinggung beberapa jenis sanksi
yang bisa dikaitkan dengan pelanggaran kode etik.
9.
IKATAN HUKUM DALAM
HUBUNGAN HUKUM PROFESI
Selain unsur pembeda
antara profesi pada umumnya dan profesi luhur dari segi pengabdiannya, terdapat
unsur lain yang membedakannya, yaitu ikatan hukum antara penyandang profesi
dengan pihak yang dilayani. Hubungan keperdataan yang terjadi terhadap profesi
pada umunya dengan yang dilayani merupakan perikatan yang menjanjikan suatu
hasil (resultaatsverbintenis), sedangkan perikatan hukum antara profesi luhur
dengan yang dilayani adalah perikatan yang menjanjikan usaha (inspanningsverbitenis).
Profesi yang terikat dalam hubungan hukum yang menjanjikan usaha dituntut
memiliki landasan intelektual dan standar kualifikasi serta moral yang lebih
tinggi, sehingga Penghargaan yang diberikan oleh masyarakat tentunya lebih
tinggi. Sebagai suatu gambaran dapat diamati pada hubungan antara Advokat dan
klien idealnya menggunakan perikatan model menjanjikan suatu usaha
dalam hal Advokat menjanjikan keberhasilan maka merupakan pelanggaran
terhadap kode etika. Advokat tersebut baik sadar atau tidak sadar telah
merendahkan profesi luhur yang seharusnya dijunjung tinggi.
10. PENGAWASAN SERTA PENINDAKAN
ORGANISASI PROFESI TERHADAP PENYANDANG
PROFESI YANG MELANGGAR KODE ETIK.
Organisasi merupakan kelompok dari
sebagian masyarakat yang mempunyai tujuan yang sama serta berinteraksi sosial
dalam organisasi dengan didukung oleh perangkat aturan demi kepentingan
organisasi maupun kepentingan masyarakat. Pendapat serupa juga dikemukakan Max
Weber yang dikutip oleh Miftah Thoha sebagai berikut:
organisasi
atau kelompok kerja sama merupakan suatu hubungan sosial yang dihubungkan dan
dibatasi oleh aturan-aturan. Aturan-aturan ini sejauh mungkin dapat memaksa
seseorang untuk melakukan kerja sebagai suatu fungsi yang ajek, baik dilakukan
oleh pimpinan maupun oleh pegawai-pegawai administrasinya.
Aspek dari
pengertian dimaksud oleh Max Weber ialah bahwa suatu organisasi atau kelompok
kerja sama ini mempunyai unsur kekayaan sebagai berikut. Organisasi merupakan
tata hubungan sosial, dalam hal ini seorang individu melakukan proses interaksi
sesamanya didalam organisasi tersebut.
1.
Organisasi mempunyai batas-batas tertentu (boundaries)
sehingga seseorang yang melakukan hubungan interaksi dengan lainnya tidak atas
kemauan sendiri. Mereka dibatasi oleh aturan-aturan tertentu;
2.
Organisasi merupakan suatu kumpulan tata aturan, yang bisa
membedakan suatu organisasi dengan kumpulan-kumpulan kemasyarakatan. Tata
aturan ini menyusun proses interaksi diantara orang-orang yang bekerja sama
didalamnya sehingga interaksi tersebut tidak muncul begitu saja;
3.
Organisasi merupakan suatu kerangka hubungan yang berstruktur
didalamnya berisi wewenang, tanggung jawab, dan pembagian kerja untuk
menjalankan sesuatu fungsi tertentu. Istilah lain dari unsur ini ialah
terdapatnya hierarki (hierachy). Konsekuensi dari adanya hierarki ini
bahwa didalam organisasi ada pimpinan atau kepala dan bawahan atau staf.
Pendapat Max Weber lebih
condong kearah interaksi, struktur organisasi, serta pentingnya aturan dalam
organisasi, sedangkan Kelompok masyarakat tidak akan membentuk suatu organisasi
tanpa adanya kehendak yang sama serta yang terpenting mempunyai tujuan
organisasi yang akan dicapai demi kepentingan bersama yang juga merupakan
kepentingan anggota juga, bahkan yang dikatakan sebagai tujuan organisasi
merupakan motivasi awal terbentuknya suatu organisasi, sedangkan Amitai Etziomi
yang dikutip oleh Miftah Thoha mengemukakan bahwa:
organisasi sebagai pengelompokan orang-orang yang sengaja disusun untuk
mencapai tujuan tertentu. Kelompok semacam ini mempunyai karakteristik sebagai
berikut:
1.
mempunyai pembagian kerja, kekuasaan, dan pertanggungan jawab
yang dikomunikasikan. Pembagian ini tidaklah dikomunikasikan. Pembagian ini
tidak dilakukan secara acak (random) melainkan sengaja dilakukan untuk
meningkatkan usaha mencapai tujuan tertentu;
2.
adanya satu atau lebih pusat kekuasaan yang dapat
dipergunakan untuk mengendalikan usaha-usaha organisasi yang telah direncanakan
dan yang dapat diarahkan untuk mencapai tujuan. Pusat kekuasaan ini juga harus
dapat dipergunakan untuk menilai kembali secara ajek pelaksanaan organisasi,
dan menyempurnakan struktur yang dianggap perlu untuk meningkatkan efisiensi;
dan
3.
adanya suatu pergantian kepegawaian, misalnya seseorang yang
cara kerjanya tidak memuaskan dapat dipindahkan dan diganti oleh orang lain.
Dalam organisasi juga dapat dilakukan usaha memadukan kembali kegiatan
kepegawaian dengan cara pemindahan atau promosi.
Pelaksanaan
organisasi baik struktur maupun sistem kerja organisasi diarahkan pada tujuan
organisasi yang merupakan kehendak dari para anggotanya, sehingga pendapat ini
lebih melihat pada cita-cita sebagai realita dari suatu organisasi. Tujuan dari
organisasi sebagai suatu patokan dasar justru dapat membaca itikad dari suatu
organisasi baik terhadap anggota organisasi, sesama organisasi, masyarakat
maupun negara. Lebih lanjut Richard scott
yang dikutip oleh Miftah Thoha
mengemukakan organisasi sebagai tujuan khusus dalam hal-hal sebagai berikut:
organisasi itu sebagai suatu kolektivitas yang sengaja dibentuk untuk
mencapai suatu tujuan khusus tertentu sedikit banyak didasarkan pada asas
kelangsungan, akan lebih jelas persoalannya bahwa organisasi itu bagaimanapun
adanya, mempunyai gambaran prospek yang jelas, dan berbeda dari sekedar
khususnya tujuan atau kelangsungan aktivitas. Perbedaan gambaran itu meliputi
hal-hal antara lain:
1.
adanya batas-batas yang jelas;
2.
adanya aturan-aturan yang normatif;
3.
adanya jenjang otoritas;
4.
adanya suatu sistem komunikasi; dan
5.
adanya suatu sistem insentif yang mampu mendorong berbagai
tipe partisipasi dalam usaha bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu.
Tujuan yang khusus merupakan pengendali suatu organisasi
tidak melenceng dari cita-cita organisasi sehingga diharapkan organisasi dapat
terfokus pada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Peran organisasi dengan
patokan yang jelas memberikan kesempatan luas yang terkondisi positif untuk
mencapai tujuan yang dapat mengcover kehendak masyarakat maupun kehendak
anggota. Tujuan organisasi dapat terwujud apabila didukung oleh seperangkat
sistem yang didalamnya terdapat aturan atau batasan yang jelas bagi organisasi
baik secara umum maupun khusus bagi anggotannya. Kriteria dari suatu organisasi
secara umum memiliki kesamaan dengan organisasi profesi, akan tetapi letak
perbedaan pada tujuan dari suatu organisasi terpengaruh oleh latar belakang
dari sejarah perkembangannya, karena mendapat pengaruh dari fungsi profesi
berdasarkan kondisi jaman yang tidak lain memiliki perbedaan atas kebutuhan
masyarakat atas fungsi profesi itu sendiri.
Terbentuknya beberapa Organisasi profesi
hukum menimbulkan dilema dalam
penegakan etika profesi, karena setiap organisasi profesi memiliki Kode
Etik masing-masing. Anggota dari suatu organisasi dapat pindah ke organisasi
lain apabila akan dijatuhi sanksi dari organisasinya, sehingga penegakan etika
profesi hanya sebagai wacana ataupun cita-cita dari organisasi profesi.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Shidarta sebagai berikut:
secara jujur harus diakui, bahwa pengembangan etika profesi hukum di
Indonesia kurang berjalan dengan baik dalam dunia hukum kita. Banyak pelanggaran
etika profesi yang tidak mendapat penyelesaian secara tuntas, bahkan terkesan
didiamkan. Lembaga semacam Dewan atau Majelis Pertimbangan Profesi yang
bertugas menilai pelanggaran etika masih belum berwibawa dimata para
anggotanya. Kondisi demikian menyebabkan bahan kajian etika profesi hukum di
Indonesia menjadi sangat kering dan berhenti pada ketentuan-ketentuan normatif
yang abstrak. Padahal kajian ini pasti akan lebih menarik jika dibentangkan
bersama contoh kasus nyata yang dihadapi para fungsionaris hukum kita.
Munculnya berbagai organisasi profesi sejenis dengan Kode Etiknya
sendiri-sendiri, semakin mengurangi nilai kajian ini dimata orang-orang yang
mempelajari etika profesi hukum.
Kajian
terhadap efektifitas hukum ataupun etika profesi tidak dapat dicermati dari
nilai yang ada, akan tetapi harus disertai gambaran riel yang terjadi
dimasyarakat. Anggota Organisasi profesi/profesi hukum wajib mematuhi
Kode Etik layaknya mematuhi ketentuan hukum yang berlaku. Pendapat
serupa juga dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad bahwa:
sama halnya
dengan penegakan hukum adalah penegakan Kode Etik. Penegakan Kode Etik adalah
usaha melaksanakan Kode Etik sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya
supaya tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran memulihkan Kode
Etik yang dilanggar itu supaya ditegakkan kembali, karena Kode Etik adalah
bagian dari hukum positif, maka norma-norma penegakan hukum Undang-undang juga
berlaku pada penegakan Kode Etik.
Penegakan Kode Etik serupa dengan penegakan terhadap hukum positif,
bahkan dengan ditegakkannya Kode Etik maka berarti telah menegakkan hukum
karena Kode Etik sebagai bagian dari hukum positif. Sebagai konsekuensi penegakan Kode Etik maka
organisasi profesi memiliki perangkat Pengawas guna mengawasi keseharian
profesi/profesi hukum dalam menjalankan tugasnya, serta Dewan Kehormatan dalam
memeriksa dan mengadili profesi/profesi hukum yang melakukan pelanggaran
terhadap Kode Etik. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Liliana Tedjosaputro
sebagai berikut:
organisasi
profesi merupakan unsur pendukung bagi suatu profesi. organisasi profesi ini
merupakan wadah untuk mengembangkan dan memajukan profesi, tempat untuk
bertukar pikiran, tukar menukar informasi dan perlindungan dikalangan
anggotanya, serta tempat untuk menyelesaikan permasalahan profesi. Bahkan
organisasi profesi bertanggung jawab adanya penyalahgunaan tanggung jawab
profesi yang terjadi dikalangan profesi dan juga penjatuhan sanksi akibat
adanya pelanggaran profesi.
Organisasi
profesi yang solid akan memberikan kewibawaan yang tinggi bagi para anggotanya
dan dimata anggota masyarakat dan juga Pemerintah. Organisasi profesi yang
solid akan memberikan rasa nyaman dan perlindungan bagi anggotanya. Apabila ada
pelanggaran, penjatuhan sanksi yang objektif diterima dengan lapang dada oleh
anggota yang melanggar Kode Etiknya.
Penjatuhan sanksi yang
objektif merupakan suatu harapan demi tegaknya etika profesi sekaligus
merupakan pelindung bagi para anggotanya dan memiliki kewibawaan dimata
masyarakat. Pengertian objektif itu sendiri memiliki makna yang dapat
diperdebatkan, mengingat yang ditegakkan adalah etika yang merupakan sekumpulan
nilai sehingga penegakannya tidak dapat lepas dari subyek yang menilai. Sesuai
pula dengan yang dikemukakan oleh Shidarta sebagai berikut:
nilai tidak
lain adalah kualitas dari sesuatu. Sesuatu yang dimaksud disini adalah sesuatu
obyek yang tertentu. Apabila kualitas tersebut dilihat dari kondisi sebenarnya
maka nilai demikian disebut nilai objektif. Nilai objektif tersebut memang tidak
dapat dipisahkan dari subyek yang memberikan penilaian. Subyek ini dapat berupa
individu, kelompok masyarakat, suatu bangsa, atau universal. Nilai yang
diberikan oleh subyek disebut nilai subyektif dan pada umumnya nilai memang
bersifat subyektif karena subyeklah yang memberikan keputusan tentang nilai
itu. Secara teoritis kedua macam nilai ini dapat dibedakan, tetapi dalam
prakteknya sangat sulit untuk menentukan mana nilai objektif dan subyektif.
Walaupun kriteria nilai objektif adalah dilihat dari obyeknya, namun tetap saja
yang menentukan nilai dari obyek itu adalah si subyek, itulah sebabnya ada
pendapat yang mengatakan bahwa nilai itu senantiasa bersifat subyektif, dan
semakin banyak subyek yang memberikan nilai yang sama pada suatu obyek, maka dikatakan
semakin bernilai objektiflah obyek yang bersangkutan.
Nilai objektif dan subjektif saling bertaut sehingga sulit dipisahkan,
karenanya suatu nilai dapat menjadi objektif harus melalui proses yang objektif
pula dan dalam organisasi dapat diwujudkan dalam bentuk penilaian anggota atas
suatu obyek agar dapat bersifat objektif. Pembahasan dari para anggota atas
proses penegakan Kode Etik sangat berpengaruh dalam menegakkan etika profesi.
Pembahasan dan penilaian bersama menimbulkan anggota organisasi dapat menerima
sanksi pelanggaran secara lapang dada karena anggota telah menyadari atas
resiko terhadap pelanggaran yang telah diperbuat.
Penegakan terhadap Kode Etik bukan saja melalui sanksi
terhadap anggotanya, akan tetapi dimulai dari sosialisasi kepada anggotanya
dalam setiap rapat organisasi mengenai tujuan pokok rumusan etika, yang
dijelaskan oleh Suhrawardi K.Lubis sebagai berikut:
namun demikian
dapat diutarakan bahwa prinsip-prinsip yang umum dirumuskan dalam suatu profesi
akan berbeda-beda satu sama lain. Hal ini dapat terjadi disebabkan perbedaan,
adat-istiadat, kebiasaan, kebudayaan dan peranan tenaga ahli profesi yang
didefinisikan dalam suatu negara dengan negara tertentu tidak sama. Adapun yang
menjadikan tujuan pokok dari rumusan etika yang dituangkan dalam Kode Etik
profesi adalah:
1.
standar-standar etika menjelaskan dan menetapkan tanggung
jawab kepada klien, lembaga (institution), dan masyarakat pada umumnya;
2.
standar-standar etika membantu tenaga ahli profesi dalam
menentukan apa yang harus mereka perbuat kalau mereka menghadapi dilema-dilema
etika dalam pekerjaannya;
3.
standar-standar etika membiarkan profesi menjaga reputasi
atau nama dan fungsi profesi dalam masyarakat melawan kelakuan-kelakuan yang
jahat dari anggota-anggota tertentu;
4.
Standar - standar etika mencerminkan / membayangkan
pengharapan moral-moral dari
komunitas. Dengan demikian,
standar-standar etika menjamin bahwa para anggota profesi akan menaati Kitab
Undang-undang etika (Kode Etik) profesi dalam pelayanannya; dan
5.
standar-standar etika merupakan dasar untuk menjaga kelakuan
dan integritas atau kejujuran dari tenaga ahli profesi.
Tujuan dari rumusan etika harus disadari
oleh anggota profesi sebagai suatu kepentingan bersama bahkan sebagai
kepentingan person profesi dalam memberikan arah serta standar dalam
melaksanakan profesinya, sehingga layaknya Kode Etik sebagai suatu
Undang-undang.
Pengertian pelanggaran terhadap Kode
Etik memiliki makna yang luas, karena pelanggaran dimaksud juga merupakan pelanggaran
terhadap hukum, sedangkan pengertian pelanggaran terhadap hukum juga merupakan
pelanggaran terhadap Kode Etik. Sedemikian pentingnya Kode Etik harus
ditegakkan serupa hukum positif mengingat keberadaan Kode Etik sebagai hukum
khusus yang terkait dengan kepentingan publik. Hal serupa juga dikemukakan oleh
Todung Mulya Lubis sebagai berikut: “dengan demikian, tempat Kode Etik itu
adalah dalam perangkat hukum khusus yang memang mempunyai karakteristik khusus,
akan tetapi mempunyai fungsi penting di dalam masyarakat profesi, karena rasa
hormat terhadap etika profesi inilah yang memelihara kredibilitas profesi itu
dimata masyarakat”.
Kredibilitas profesi Advokat
dimasyarakat bukan semata-mata demi kepentingan Advokat, tetapi harus
dikembalikan pada tujuan keberadaan Advokat yang terdiri dari berbagai
kepentingan dan hal tersebut dapat ditelaah dari sifat pemberlakuan Kode Etik.
Sesuai yang dikemukakan oleh Oemar Seno Adji bahwa:
Kode Etik
sebagai wadah peraturan-peraturan perilaku yang disepakati bersama oleh
masyarakat profesi, pada umumnya mengandung hak-hak dan kewajiban-kewajiban
bagi para profesionalis. Kode Etik juga mengandung dalam falsafah hukum, apa
yang dikualifisir sebagai normatieve etiek. Sebagai normatieve etiek,
umumnya dapat dikatakan bahwa Kode Etik mengandung ketentuan-ketentuan yang
bersifat gesinnung, yaitu:
1.
kewajiban pada diri sendiri;
2.
kewajiban-kewajiban pada umum;
3.
ketentuan-ketentuan mengenai kerekanan; dan
4.
kewajiban terhadap orang ataupun profesi yang dilayani.
Luasnya cakupan
Kode Etik memerlukan
perhatian khusus tidak
saja terhadap penegakannya, akan tetapi juga terhadap materi, sistem
pengawasan dan penindakan. Penegakan tanpa diimbangi oleh faktor pendukung yang
lain menimbulkan kelemahan hukum yang justru dapat dimanfaatkan demi
kepentingan mengelabui Kode Etik itu sendiri. Berkaitan dengan
penegakan Kode Etik,
maka Hadi Herdiansyah
dan rekan mengutip dari B.Arief Sidharta menyatakan sebagai berikut:
faktor
lemahnya pelaksanaan dan penegakan Kode Etik profesi hukum antara lain adalah:
1.
banyak pengemban profesi hukum dan masyarakat pada umumnya
tidak mengetahui dan memahami secara baik dan lengkap tentang substansi dan
prosedur yang diatur dalam Kode Etik profesi hukum;
2.
dalam praktek, Kode Etik profesi hukum tidak ditegakkan
dengan menggunakan mekanisme atau prosedur dan sanksi yang telah diatur dalam
Kode Etik yang bersangkutan;
3.
substansi Kode Etik, sanksi dan aturan prosedural
penegakannya belum cukup lengkap dan jelas;
4.
faktor kultural yang kurang mendukung kultur kelembagaan.
Seperti sikap ewuh pakewuh, sikap melindungi sejawat secara berlebihan, karena
pemahaman dan penghayatan yang keliru terhadap pengertian solidaritas dan
moralitas;
5.
tingkat responsivitas lembaga-lembaga yang bertugas
menegakkan Kode Etik pada umumnya masih rendah;
6.
Tingkat konsistensi lembaga dalam menjatuhkan sanksi kepada
pelanggar Kode Etik masih rendah; dan
7.
Karakter organisasi profesi hukum yang tertutup dan eksklusif
menyebabkan sempitnya kesempatan masyarakat untuk ikut melakukan pengawasan
terhadap profesi hukum yang menyebabkan partisipasi masyarakat menjadi rendah.
Pengawasan dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh Komisi
Pengawas merupakan bentuk
penegakan hukum terhadap penegak hukum, hal tersebut sebagai
dasar bagi penegak hukum untuk menegakkan supremasi
hukum.
pada perkembangan dunia ilmu pengetahuan
yang makin modern, maka peran organisasi profesi makin luas demi kepentingan
umum. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Shidarta sebagai
berikut:
organisasi profesi
merupakan wadah penting untuk pembinaan profesi. Pembinaan ini terutama
ditujukan kepada manusia-manusia yang menyandang profesi tersebut, yakni
masyarakat atau komunitas profesi. Setiap profesi selalu didukung oleh sistem
nilai yang dituangkan dalam standar kualifikasi dan kompetensi dari penyandang
profesi ini. Sistem nilai ini juga tercermin dari Kode Etik profesi, anggaran
dasar, dan anggaran rumah tangga organisasi profesi, dan sebagainya. Sistem
nilai tersebut juga hadir dalam praktek keseharian yang dilakukan dalam
hubungan antara para penyandang profesi dengan para pengguna jasa mereka.
Dengan kata lain, sistem nilai ini mengejawantah sebagai budaya (kultur)
profesi, atau sebaliknya, penyandang profesi adalah pendukung kebudayaan.
Peran organisasi
profesi tidak hanya
pengawasan dan penindakan, akan tetapi
juga dibutuhkan fungsi pembinaan bagi para anggotanya dengan tujuan
efektifitas dilaksanakannya etika profesi. Pembinaan yang dilakukan oleh
organisasi profesi diharapkan dapat meminimalkan pelanggaran etika dalam
organisasi ataupun anggota organisasi. Organisasi profesi dapat berperan sesuai
dengan yang diharapkan, apabila sistem dalam organisai profesi tertata dengan
baik sehingga mekanisme organisasi dapat berjalan sebagaimana mestinya, bahkan
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi harus tertata dengan baik
serta sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan, selanjutnya baru dapat mengatur
anggotanya.
Organisasi merupakan
manajemen yang tentunya dikelola oleh pengurus, dengan kata lain meskipun
anggaran dasar, anggaran rumah tangga maupun Kode Etik sudah sesuai dengan
ketentuan yang ada tanpa didukung oleh manajemen yang profesional maka
organisasi tidak akan mampu melakukan pembinaan, pengawasan maupun penindakan terhadap
anggotanya. Besesuaian dengan pendapat Shrode dan Voich, yang dikutip oleh
Abdul Wahid dan Anang Sulistyono sebagai berikut:
apabila kita
sudah mulai berbicara mengenai organisasi, maka suatu hal yang pokok adalah
bagaimana organisasi itu akan “dibuat berjalan”. Proses ini tidak lain
merupakan kegiatan manajemen. Manajemen ini bisa diartikan sebagai seperangkat
kegiatan atau suatu proses untuk mengoordinasikan dan mengintegrasikan
penggunaan sumber-sumber daya dengan tujuan untuk mencapai tujuan organisasi
melalui orang-orang, teknik-teknik dan informasi dan dijalankan dalam kerangka
suatu struktur organisasi.
Pendapat tersebut menempatkan
orang-orang guna mencapai tujuan organisasi, karena suatu sistem
manajemen pelaksanaannya dilakukan oleh pengurus. Kualitas pengurus organisasi
memegang peranan penting baik dari segi keilmuan maupun dari segi moralitas
serta komitmen yang tinggi terhadap organisasi itu sendiri. Organisasi profesi
memiliki tantangan yang berat terhadap penindakan atas penyalahgunaan profesi
oleh anggota sejawat demi terwujudnya profesionalisme dalam penerapannya.
Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Supriadi bahwa:
dalam kenyataannya,ditengah-tengah masyarakat sering terjadi
penyalahgunaan profesi hukum oleh anggotanya sendiri. Terjadinya penyalahgunaan
profesi hukum tersebut disebabkan adanya faktor kepentingan. Sumaryono
mengatakan bahwa penyalahgunaan dapat terjadi karena adanya persaingan individu
profesional hukum atau tidak adanya disiplin diri. Dalam profesi hukum dapat dilihat
dua hal yang sering berkontradiksi satu sama lain, yaitu disatu sisi, cita-cita
etika yang terlalu tinggi, dan disisi lain, praktek pengembalaan hukum yang
berada jauh dibawah cita-cita tersebut. Selain itu, penyalahgunaan profesi
hukum terjadi karena desakan pihak klien yang menginginkan perkaranya cepat
selesai dan tentunya ingin menang. Klien kadangkala tidak segan-segan
menawarkan bayaran yang menggiurkan baik kepada penasihat hukum ataupun Hakim
yang memeriksa perkara.
Tantangan organisasi
profesi bukan hanya penindakan penyalahgunaan profesi, akan tetapi dituntut
mampu mengawasi kinerja profesi agar tidak melakukan pelanggaran terhadap Kode
Etik profesi.
11.PERIKATAN DALAM HUBUNGAN HUKUM PROFESI.
Hubungan hukum profesi
antara penyandang profesi dengan pengguna jasa profesi dalam ranah hukum
keperdataan. Hubungan hukum terwujud setelah ada kesepakatan antara penyandang
profesi dengan klien, tentang bagaimana menyelesaikan atau menangani posisi
hukum klien sesuai ketentuan hukum yang berlaku, setelah klien merasa
penyandang profesi hukum dalam hal ini notaris atau advokat dianggap mampu dan
sesuai yang diharapkan maka terwujudlah suatu bentuk perjanjian baik lisan
maupun tertulis. Perjanjian menimbulkan perikatan sesuai pasal 1233 Burgerlijk
Wetboek yang mengatur tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan,
baik karena undang-undang, selanjutnya pasal 1234 BW menyatakan tiap-tiap
perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk
tidak berbuat sesuatu.
Perjanjian untuk dapat menimbulkan perikatan harus memenuhi syarat
sahnya perjanjian sesuai ketentuan pasal 1320 BW yang berbunyi sebagai berikut:
1.
sepakat mereka untuk mengikatkan
dirinya;
2.
kecakapan untuk membuat suatu
perikatan;
3.
suatu hal tertentu;
4.
suatu sebab yang halal.
Ketentuan pasal 1320 BW setelah terpenuhi maka berlakulah Pacta Sunt
Servanda yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Perikatan yang dilakukan
antara pekerjaan pada umumnya, penyandang profesi, penyandang profesi luhur
memiliki perbedaan. Pada Perjanjian pekerjaan pada umumnya kedua belah pihak
dapat mengajukan tuntutan prestasi baik terhadap pelaksanaan pekerjaan maupun
hasil kerja dari pihak dalam perjanjian sesuai dengan asas kebebasan
berkontrak.
Perjanjian atau hubungan hukum pada penyandang profesi dengan pengguna
profesi meskipun tetap menggunakan asas kebebasan berkontrak akan tetapi
dibatasi oleh kode etik masing-masing profesi, mengingat asas kebebasan
berkontrak tetap tidak diperkenankan untuk melanggar ketentuan hukum. Pengguna
jasa profesi tidak dapat menuntut jaminan keberhasilan, akan tetapi penyandang
profesi apabila berkeyakinan akan keberhasilan masih dapat memberikan
gambaran tentang keberhasilan.
Hubungan hukum yang terjadi antara penyandang profesi dan pengguna jasa
dibedakan menjadi dua model perikatan (verbintenis) yang terdiri dari,
perikatan yang menjanjikan suatu hasil (resultaatsverbintenis) dan
perikatan yang menjanjikan suatu usaha (inspanningsverbintenis).
Profesi luhur menggunakan perikatan yang menjanjikan suatu usaha sehingga dituntut memiliki
landasan intelektual dan standar kualifikasi yang lebih tinggi dan sudah
sepatutnya mendapat penghargaan lebih tinggi dari masyarakat.
Prestasi utama yang
harus direalisasikan oleh penyandang profesi berkaitan dengan kemampuan
intelektual guna menyelesaikan permasalahan hukum yang ada, sedangkan
hukum sendiri bersifat abstrak, oleh karenanya penyandang profesi merupakan
profesi kepercayaan. Bahkan terdapat ahli hukum Belanda Paul Scholten
menyatakan kegiatan menemukan hukum (rechtsvinding) adalah seni. Beliau
sangat menekankan arti penting dari seni dalam penemuan hukum, namun seni dalam
penemuan hukum tidak diartikan ketrampilan atau teknik melainkan suatu bentuk pemberian
bentuk pada gambaran-gambaran yang kabur, yaitu membuat sesuatu (fakta
konkret) mengkristalisasi menjadi hukum. Penciptaan bentuk hukum seperti ini
merupakan seni.
Metode interpertasi : gramatikal, otentik, historis.
12.KODE ETIK
ADVOKAT
Kode etik Advokat Indonesia terdiri
dari:
1)
PEMBUKAAN;
2)
KETENTUAN UMUM;
3)
KEPRIBADIAN ADVOKAT;
4)
HUBUNGAN DENGAN KLIEN;
5)
HUBUNGAN DENGAN TEMAN SEJAWAT;
6)
TENTANG SEJAWAT ASING;
7)
CARA BERTINDAK MENANGANI PERKARA;
8)
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN TENTANG KODE ETIK;
9)
PELAKSANAAN KODE ETIK;
10)
DEWAN
KEHORMATAN (KETENTUAN UMUM);
11)
PENGADUAN;
12)
TATA CARA PENGADUAN;
13)
PEMERIKSAAN TINGKAT PERTAMA OLEH DEWAN KEHORMATAN
CABANG/DAERAH;
14)
SIDANG DEWAN KEHORMATAN CABANG/DAERAH;
15)
CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN;
16)
SANKSI-SANKSI;
17)
PENYAMPAIAN SALINAN KEPUTUSAN;
18)
PEMERIKSAAN TINGKAT BANDING DEWAN KEHORMATAN PUSAT;
19)
KEPUTUSAN DEWAN KEHORMATAN;
20)
KETENTUAN
LAIN TENTANG DEWAN KEHORMATAN;
21)
KODE ETIK&DEWAN KEHORMATAN;
22)
ATURAN PERALIHAN;
23)
PENUTUP.
1.PEMBUKAAN:
Tujuan kode etik Advokat:
1.
membebankan
kewajiban;------------officium nobile
2.
perlindungan hukum
anggota.--------officium nobile
Advokat (profesi terhormat) dilindungi:
1)
Hukum;
2)
undang-undang;
3)
kode etik.
Advokat memiliki kebebasan sesuai kode etik dan UU RI nomor: 18 tahun
2003, tentang Advokat pasal 14 yang mengatur, Advokat bebas mengeluarkan
pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya
didalam sidang Pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 15, Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk
membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode
etik profesi dan peraturan perundang-undangan (lihat penjelasannya).
Kebebasan Advokat berdasarkan:
1)
kehormatan Advokat;
2)
kepribadian Advokat.
Advokat (penegak hukum) berpegang teguh:
1)
kemandirian;
2)
kejujuran;
3)
kerahasiaan;
4)
keterbukaan.
Kewajiban Advokat:
1)
menjaga citra dan martabat
kehormatan profesi;
2)
setia dan menjunjung tinggi kode
etik dan sumpah profesi
3)
jujur dan bertanggung jawab
kepada:
a.klien;
--- nasihat & penyelesaian kasus klien dengan baik.
b.Pengadilan; --- fakta
yuridis & penegakan hukum
c.negara atau
masyarakat;--- penegakan hukum --- kesejahteraan.
d.terutama dirinya
sendiri. --- penegak hukum --- imunitas.
Advokat sebagai penegak hukum (ps 5(1) UU tentang Advokat) sejajar
dengan instansi penegak hukum lain, harus saling menghargai juga terhadap teman
sejawat.
2.KETENTUAN UMUM
Advokat --- jasa hukum ---- didalam Pengadilan;
diluar Pengadilan.(pasal 1ayat 1 dan 2).
Klien (pasal 1 (3) UU tentang Advokat):
1)
orang;
2)
badan hukum;
3)
lembaga lain.
Teman sejawat :
1)
pihak yang berpraktek sebagai
Advokat;
2)
teman sejawat asing (pasal 1(8)
UU tentang Advokat) .
Dewan Kehormatan:
1)
mengawasi pelaksanaan kode etik
Advokat (ps 13(1), 26(4) UU tentang Advokat);
2)
menerima dan memeriksa pengaduan
(ps 26(5) UU tentang Advokat) .
Honorarium (pasal 1 (7) UU
tentang Advokat) :
1)
imbalan jasa;
2)
pembayaran;
3)
kesepakatan;
4)
perjanjian.
3.KEPRIBADIAN ADVOKAT.
Advokat --- WNI harus berkepribadian:
1)
bertakwa kepada Tuhan YME;
2)
satria;
3)
jujur mempertahankan keadilan dan
kebenaran;
4)
moral yang tinggi;
5)
luhur dan mulia;
6)
menjunjung tinggi hukum;
7)
menjunjung tinggi UUD RI;
8)
menjunjung tinggi kode etik
Advokat serta sumpah jabatannya.
Alasan penolakan nasihat dan bantuan hukum Advokat:
1)
tidak sesuai dengan keahliannya;
2)
bertentangan dengan hati nurani;
Advokat dilarang menolak nasihat dan bantuan hukum dengan alasan (pasal
18 (1) UU tentang Advokat):
1)
perbedaan agama;
2)
perbedaan kepercayaan;
3)
perbedaan politik;
4)
perbedaan kedudukan sosial.
Tujuan Advokat (bagian b menimbang UU tentang Advokat):
1)
mengutamakan tegaknya hukum,
kebenaran dan keadilan;
2)
memperjuangkan HAM.
Beberapa hal yang wajib diperhatikan Advokat:
1)
imbalan materi bukan tujuan utama;
2)
bebas dan mandiri;
3)
memelihara rasa solidaritas
diantara teman sejawat;
4)
memberi bantuan hukum dan
pembelaan hukum kepada teman sejawat dalamperkara pidana;
5)
tidak diperkenankan melakukan
pekerjaan lain yang dapat merugikan kebebasan, derajat dan martabat Advokat;
6)
menjunjung tinggi sebagai profesi
terhormat;
7)
sopan terhadap semua pihak dengan
mempertahankan hak dan martabat Advokat;
8)
apabila diangkat sebagai pejabat
negara tidak diperkenankan praktek sebagai Advokat.
4.HUBUNGAN DENGAN KLIEN
1)
utamakan jalan damai;
2)
memberi keterangan yang
sebenarnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku;
3)
tidak menjamin perkara pasti
menang;
4)
honorarium sesuai kemampuan
klien;
5)
tidak membebani biaya yang tidak
perlu;
6)
perkara cuma-cuma juga harus
diperhatikan;
7)
harus menolak perkara yang tidak
ada dasar hukum;
8)
menjaga rahasia jabatan;
9)
tidak melepaskan tugas pada saat
posisi tidak menguntungkan klien;
10)
pengurusan kepentingan bersama dua pihak atau
lebih harus mengundurkan diri;
11)
hak retensi sepanjang tidak
merugikan kepentingan klien.
5.HUBUNGAN DENGAN TEMAN SEJAWAT
1)
saling menghormati, menghargai,
saling mempercayai;
2)
dalam sidang Pengadilan tidak
menggunakan kata tidak sopan baik lisan atau tertulis;
3)
keberatan terhadap tindakan teman
sejawat diajukan ke Dewan Kehormatan tidak melalui media masa atau cara lain;
4)
tidak merebut klien;
5)
mengganti Advokat dengan
pencabutan surat kuasa Advokat semula serta Advokat berkewajiban mengingatkan
klien untuk memenuhi kewajiban terhadap Advokat semula;
6)
Advokat semula wajib
memberi/menyerahkan semua surat dan keterangan berkaitan dengan perkara.
6.SEJAWAT ASING
wajib tunduk pada kode etik Advokat Indonesia.
7.CARA BERTINDAKMENANGANI PERKARA
1)
Surat Advokat kepada teman
sejawat dapat ditunjukkan kepada Hakim, kecuali surat dibubuhi catatan Sans
Prejudice;
2)
isi pembicaraan atau
korespondensi upaya damai antar Advokat tidak dipergunakan sebagai bukti di
Pengadilan;
3)
perkara perdata, menghubungi
Hakim harus bersama-sama dengan Advokat pihak lawan;
4)
Perkara pidana, menghubungi Hakim
harus bersama-sama dengan jaksa Penuntut Umum;
5)
Advokat tidak mengajari dan
mempengaruhi saksi yang diajukan pihak lawan atau oleh jaksa Penuntut Umum;
6)
Advokat mengetahui seseorang
menunjuk Advokat dalam penanganan perkara maka hubungannya hanya boleh melalui
advokat tersebut;
7)
imunitas hukum dalam sidang
pengadilan (pasal 14,15 UU tentang Advokat)
8)
Advokat wajib memberi bantuan
hukum cuma-cuma (pasal 1 (9) UU tentang Advokat);
9)
Advokat wajib menyampaikan
pemberitahuan putusan Pengadilan kepada klien.
8.KETENTUAN-KETENTUAN LAIN TENTANG KODE ETIK
1)
Advokat profesi mulia dan
terhormat (officium nobile) selaku penegak hukum sejajar Jaksa dan Hakim
dilindungi hukum, undang-undang dan kode etik;
2)
dilarang memasang iklan
semata-mata mencari perhatian orang serta papan nama dengan ukuran dan bentuk
yang berlebih-lebihan;
3)
Kantor Advokat dan cabangnya
tidak diadakan ditempat yang merugikan kedudukan dan martabat Advokat;
4)
tidak mencantumkan yang bukan
Advokat sebagai Advokat dipapan nama atau memperkenalkan sebagai Advokat;
5)
tidak mengijinkan karyawan yang tidak
berkualifikasi untuk mengurus perkara atau nasihat hukum;
6)
tidak mencari publisitas di media
masa;
7)
Advokat dapat mengundurkan diri
bila timbul perbedaan cara penanganan perkara dengan kliennya;
8)
Advokat mantan hakim atau
panitera tidak menangani perkara yang diperiksa Pengadilan tempat terakhir
Pengadilan selama tiga tahun.
9.PELAKSANAAN KODE ETIK
1)
Advokat wajib tunduk pada kode
etik;
2)
pengawasan dan pelaksanaan kode
etik oleh Dewan kehormatan.
Pengawasan berdasarkan uu tentang advokat oleh
organisasi Advokat dan komisi pengawas (ps 12,13).
10.DEWAN KEHORMATAN (KETENTUAN UMUM)
1)
memeriksa dan mengadili perkara
pelanggaran kode etik melalui tingkat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah (tingkat
pertama) dan tingkat pusat sebagai tingkat terakhir;
2)
beban biaya oleh DPC,
DPP,pengadu/teradu ?
11. PENGADUAN
Pengaaduan diajukan oleh pihak yang berkepentingan dan merasa
dirugikan yaitu:
a)
klien;
b)
teman sejawat Advokat;
c)
pejabat pemerintahan;
d)
anggota masyarakat;
e)
Dewan Pimpinan
pusat/Cabang/Daerah organisasi profesi dimana teradu menjadi anggota baik untuk
kepentingan organisasi atau untuk kepentingan umum.
12.TATA CARA PENGADUAN
1)
Pengaduan secara tertulis dengan
alasannya;
2)
suatu tempat tidak terdapat dewan
Kehormatan Cabang maka aduan disampaikan pada cabang yang terdekat atau Dewan
Kehormatan Pusat dimana teradu menjadi anggota;
3)
DPC menerima pengaduan akan
diserahkan kepada DPC yang berwenang;
4)
pengaduan disampaikan Ke Dewan
kehormatan Pusat maka akan diteruskan Ke Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang
berwenang.
13.PEMERIKSAAN TINGKAT PERTAMA OLEH DEWAN
KEHORMATAN CABANG/DAERAH
1)
Dewan Kehormatan menerima
pengaduan tertulis disertai bukti, kemudian menyampaikan kepada teradu paling
lambat 14 hari;
2)
Paling lambat 21 hari teradu
memberi jawaban tertulis disertai bukti surat, bila tidak memberi jawaban maka
DPC/D menyampaikan pemberitahuan kedua dengan peringatan apabila dalam waktu 14
hari sejak tanggal surat peringatan
tidak memberi jawaban dianggap melepaskan hak jawabnya;
3)
tidak ada jawaban dapat diputus
tanpa kehadiran kedua belah pihak;
4)
Jawaban yang diadukan diterima
maka menetapkan hari sidang dengan panggilan secara patut (3hari);
5)
pengadu dan teradu harus hadir
sendiri, dapat didampingi penasehat serta berhak mengajukan saksi dan bukti;
6)
sidang pertama Dewan Kehormatan
menjelaskan tata cara pemeriksaan, upaya perdamaian untuk yang bersifat perdata
selanjutnya kedua belah pihak mengemukakan alasan pengaduan dan pembelaan serta
saurat bukti dan saksi akan diperiksa;
CATATAN: pelanggaran kode etik yang bersifat pidana apabila telah diputus
peradilan umum maka sudah pasti salah dimana efektivitas Dewan Kehormatan.
SIDANG PERTAMA SALAH SATU PIHAK TIDAK HADIR :
1)
penundaan sidang 14 hari, pengadu
tidak hadir aduan gugur dan tidak dapat mengajukan lagi untuk hal yang sama
kecuali dianggap berkaitan dengan kepentingan organisasi atau umum;
2)
teradu 2 kali tidak hadir,
pemeriksaan tanpa hadir teradu dan diputuskan.
14.SIDANG DEWAN KEHORMATAN CABANG/DAERAH
1)
Majelis Dewan Kehormatan
Cabang/daerah sekurang-kurangnya tiga orang anggota, salah satu ketu majelis
(jumlah ganjil);
2)
Majelis dapat terdiri dari: Dewan
Kehormatan atau ditambah anggota Majelsi Kehormatan Adhoc;
3)
Majelis dipilih oleh rapat Dewan
Kehormatan Cabang;
4)
berita acara sidang;
5)
sidang tertutup, keputusan sidang
terbuka.
15. CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN
1)
Keputusan Dewan Kehormatan dapat
berupa :
a.menyatakan pengaduan
dari pengadu tidak dapat diterima;
b.menerima
pengaduan dari pengadu dan mengadili serta menjatuhkan sanksi-sanksi kepada
teradu;
c.menolak
pengaduan dari pengadu.
2)
keputusan memuat pertimbangan dan
pasal kode etik yang dilanggar;
3)
keputusan dengan suara terbanyak
dan diucapkan disidang terbuka;
4)
anggota majelis kalah pengambilan
suara berhak membuat catatan keberatan;
5)
keputusan ditanda tangani,
berhalangan disebut dalam keputusan.
16.SANKSI/HUKUMAN
1)
peringatan biasa (pelanggaran
tidak berat);
2)
peringatan keras (pelanggaran
berat, mengulangi dan/ tidak mengindahkan sanksi peringatan);
3)
pemberhentian sementara untuk
waktu tertentu (pelanggaran berat, tidak mengindahkan dan menghormati kode
etik, mengulangi peringatan keras);
4)
pemecatan dari keanggotaan
organisasi profesi
untuk bagian 3 dan 4 pemberhentian organisasi profesi menyampaikan ke
Mahkamah Agung untuk dicatat dalam daftar Advokat.
17.PENYAMPAIAN SALINAN KEPUTUSAN
Paling lambata 14 hari setelah putusan diucapkan salinan putusan harus
disampaikan kepada:
1)
teradu;
2)
pengadu;
3)
Dewan pimpinan Cabang/Daerah dari
semua organisasi profesi; ?
4)
Dewan Pimpinan Pusat;
5)
instansi-instansi yang dianggap
perlu, apabila keputusan telah berkekuatan hukum tetap.
18.PEMERIKSAAN BANDING DEWAN KEHORMATAN PUSAT
1)
Pengadu atau teradu tidak
puas atas putusan tingkat pertama dapat melakukan upaya hukum banding ke Dewan
Kehormatan Pusat;?
2)
Batas waktu banding beserta
memori banding 21 hari sejak menerima salinan keputusan;?
3)
Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah
menerima memori banding dalam waktu 14 hari mengirim kepada pihak terbanding;
4)
Kontra memori paling lambat 21
hari sejak terima memori banding, apabila tidak menyampaikan dianggap telah
melepaskan haknya;
5)
Selambat-lambatnya 14 hari berkas
perkara diteruskan kepada Dewan Kehormatan Pusat;
6)
Upaya banding menyebabkan
ditundanya pelaksanaan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah;
7)
Susunan Majelis Dewan Kehormatan
Pusat seperti Dewan Kehormatan Cabang/daerah;
8)
Dewan Kehormatan Pusat memutus
berdasarkan berkas perkara yang ada, bila dianggap perlu dapat meminta bahan
tambahan dari pihak yang bersangkutan atau memanggil mereka dengan biaya
sendiri;
9)
Dewan Kehormatan Pusat dapat
memeriksa langsung dengan adanya surat persetujuan dari kedua belah pihak agar
perkaranya diperiksa langsung oleh dewan Kehormatan Pusat;
10)
Semua ketentuan untuk pemeriksaan tingkat
pertama berlaku bagi pemeriksaan tingkat banding.
19.KEPUTUSAN DEWAN KEHORMATAN PUSAT
1)
Putusannya dapat berupa:
a. menguatkan;
b.
merubah;
c. membatalkan.
2)
Putusan mempunyai kekuatan hukum
tetap sejak diucapkan dan bersifat final dalam sidang terbuka dengan atau tanpa
kehadiran para pihak;
3)
Selambat-lambatnya 14 hari
setelah keputusan diucapkan, salinan keputusan disampaikan kepada:
a.
anggota yang diadukan/teradu baik sebagai pembanding ataupun terbanding;
b.
pengadu baik selaku pembanding ataupun terbanding;
c.
Dewan Pimpinan Cabang/Daerah;
d.
Dewan Kehormatan Cabang/Daerah;
e.
dewan Pimpinan Pusat dan masing-masing organisasi profesi;
f.
instansi-instansi yang dianggap perlu.
4)
Apabila seorang Advokat telah
dipecat maka Dewan Kehormatan Pusat/Cabang/Daerah meminta kepada Dewan Pimpinan
Pusat/organisasi profesi untuk memecat dari keanggotaan organisasi profesi.
20.KETENTUAN LAIN TENTANG DEWAN KEHORMATAN
Dewan kehormatan berwenang menyempurnakan hal-hal yang telah diatur
maupun yang belum diatur tentang Dewan Kehormatan dalam kode etik ini, dengan
kewajiban melaporkan kepada dewan Pimpinan Pusat agar diumumkan dan diketahui
oleh setiap anggota dari masing-masing organisasi.
13.KODE ETIK NOTARIS
Kode Etik Notaris Ikatan
Notaris Indonesia (INI) terdiri dari:
- KETENTUAN UMUM;
- RUANG LINGKUP KODE ETIK;
- KEWAJIBAN, LARANGAN DAN PENGECUALIAN;
- SANKSI;
- TATA CARA PENEGAKAN KODE ETIK:
a.pengawasan;
b.pemeriksaan
dan penjatuhan sanksi:
-alat perlengkapan;
-pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pada
tingkat pertama;
-pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pada
tingkat banding;
-pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pada
tingkat terakhir;
c.eksekusi
atas sanksi-sanksi dalampelanggaran kode etik
- PEMECATAN SEMENTARA;
- KEWAJIBAN PENGURUS PUSAT;
- KETENTUAN PENUTUP
1.KETENTUAN UMUM
a)
Ikatan Notaris Indonesia (INI)
merupakan satu-satunya wadah pemersatu bagi semua dan setiap orang yang
memangku dan menjalankan tugas sebagai pejabat umum di Indonesia, merupakan
organisasi Notaris.
b)
Kode Etik Notaris merupakan
seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan INI (termasuk didalamnya
pejabat sementara Notaris, Notaris pengganti, Notaris pengganti khusus);
c)
Disiplin organisasi :
kewajiban-kewajiban terutama kewajiban administrasi dan finansial yang telah
diaturoleh perkumpulan;
d)
Pengurus terdiri dari:
-pengurus
pusat adalah pengurus perkumpulan pada tingkat nasional yang mempunyai tugas,
kewajiban serta kewenangan untuk mewakili dan bertindak atas nama perkumpulan
baik diluar maupun dimuka Pengadilan;
-pengurus
wilayah adalah pengurus perkumpulan pada tingkat propinsi;
-pengurus
Daerah adalah pengurus perkumpulan pada tingkat kota/Kabupaten.
e)
Dewan Kehormatan adalah alat perlengkapan
perkumpulan sebagai suatu badan atau lembaga yang mandiri dan bebas dari
keberpihakan dalam perkumpulan;
f)
Dewan Kehormatan Pusat
(nasional), Dewan Kehormatan Wilayah (propinsi), Dewan Kehormatan Daerah
(kota/Kabupaten) yang bertugas untuk:
-melakukan
pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi
Kode Etik;
-memeriksa
dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan Kode Etik dan/atau disiplin
organisasi, yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan
kepentingan masyarakat secara langsung pada tingkat akhir final (Dewan
Kehormatan Pusat), tingkat banding (Dewan Kehormatan Wilayah), tingkat pertama
(Dewan Kehormatan Daerah);
-memberikan
saran dan pendapat oleh Dewan Kehormatan Pusat kepada majelis pengawas, Dewan
Kehormatan Wilayah kepada Majelis Pengawas Wilayah dan/atau Majelis pengawas
daerah, Dewan Kehormatan Daerah kepada Majelis Pengawas Daerah atas dugaan
pelanggaran kode etik dan jabatan Notaris;
g)
Pelanggaran adalah perbuatan atau
tindakan yang dilakukan oleh anggota perkumpulan maupun orang lain yang
memangku dan menjalankan jabatan Notaris yang melanggar ketentuan Kode Etik
dan/atau disiplin organisasi;
h)
Kewajiban adalah sikap perilaku,
perbuatan atau tindakan yang harus dilakukan anggota perkumpulan maupun
orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris, dalam rangka menjaga
dan memelihara citra serta wibawa lembaga notarist dan menjunjung tinggi
keluhuran harkat dan martabat jabatan Notaris;
i)
Larangan adalah sikap, perilaku
dan perbuatan/tindakan apapun yang tidak boleh dilakukan oleh anggota
perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan notaris,
yang dapat menurunkan citra serta wibawa lembaga notariat ataupun keluhuran
harkat dan martabat jabatan Notaris;
j)
Sanksi adalah suatu hukuman
sebagai sarana, upaya dan alat pemaksa ketaatan dan disiplin anggota
perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris dan
menegakkan Kode Etik dan disiplin
organisasi;
k)
Eksekusi merupakan pelaksanaan
putusan Dewan Kehormatan yang berkekuatan hukum tetap;
l)
Klien adlah setiap orang atau
badan yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama datang kepada Notaris untuk
membuat akta, berkonsultasi dalam rangka pembuatan akta serta minta jasa
Notaris lainnya.
2.RUANG LINGKUP KODE ETIK
Kode etik notaris berlaku yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris
maupun dalam kehidupan sehari-hari.
3.KEWAJIBAN,LARANGAN DAN PENGECUALIAN
Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris
wajib:
a)
memiliki moral, akhlak serta
kepribadian yang baik;
b)
menghormat dan menjunjung tinggi
harkat dan martabat jabatan Notaris;
c)
menjaga dan membela kehormatan
perkumpulan;
d)
bertindak jujur, mandiri, tidak
berpihak, penuh rasa tanggung jawab berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan isi sumpah jabatan;
e)
meningkatkan ilmu pengetahuan
yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan
kenotariatan;
f)
mengutamakan pengabdian kepada
kepentingan masyarakat dan negara;
g)
memberikan jasa pembuatan akta
dan jasa kenotarisan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut
honorarium;
h)
menetapkan satu kantor ditempat
kedudukan dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang
bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari;
i)
memasang satu buah papan nama
dengan pilihan ukuran 100cmx40cm, 150cmx60cm, 200cmx80cm, dasar papan
putih dengan huruf hitam;
j)
hadir, mengikuti dan
berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh
perkumpulan, menghormati, mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh keputusan
perkumpulan;
k)
membayar uang iuran
perkumpulan secara tertib;
l)
membayar uang duka untuk
membantu ahli waris teman sejawat yang meninggal dunia;
m)
melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan
tentang honorarium ditetapkan perkumpulan;
n)
menjalankan jabatan Notaris;
o)
menciptakan suasana kekeluargaan
dan kebersamaan dalam melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta
saling memperlakukan rekan sejawat secara baik,saling menghormati,saling
menghargai, saling membantu serta saling berusaha menjalin komunikasi dan tali
silaturahim;
p)
memperlakukan setiap klien yang
datang dengan baik, tidak membedakan status ekonomi dan/atau status
sosialnya;
q)
melakukan perbuatan-perbuatan
yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan
antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam:
-UU Nomor30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris;
-penjelasanPasal 19 ayat (2) uu Nomor 30 tahun
2004 tentang jabatan Notaris;
-isi sumpah jabatan Notaris;
-Anggaran Dasardan Anggaran Rumah Tangga INI.
4.LARANGAN
Notaris dan orang lain yang memangku dan
menjalankan jabatan Notaris dilarang:
a)
mempunyai lebih dari satu kantor;
b)
memasang papan nama dan/atau
tulisan Notaris/kantor Notaris diluar lingkungan kantor;
c)
melakukan publikasi atau promosi
diri, baik sendiri maupun secara bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan
jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik, dalam bentuk: -
iklan;
- ucapan selamat;
- ucapan belasungkawa;
- ucapan terima kasih;
- kegiatan pemasaran;
- kegiatan sponsor.
d)
Bekerja sama dengan biro
jasa/orang/badan hukum;
e)
menandatangani akta yang
minutanya dibuat pihak lain;
f)
mengirimkan minuta untuk
ditandatangani klien;
g)
berusaha atau berupaya klien
notaris lain berpindah kepadanya;
h)
memaksa klien agar membuat akta
kepadanya;
i)
melakukan usaha-usaha persaingan
tidak sehat;
j)
menetapkan honorarium lebih
rendah dari penetepan perkumpulan;
k)
mempekerjakan karyawan kantor
notaris lain tanpa persetujuan;
l)
menjelaskan dan atau
mempersalahkan rekan notaris atau akta yang dibuatnya. Kesalahan serius
membahayakan klien notaris wajib memberitahukan kepada rekan;
m)
membentukkelompok rekan sejawat
yang bersifat eksklusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu
instansi/lembaga;
n)
menggunakan/mencantumkan gelar
tidak sesuai dengan peraturan perundangan;
o)
melakukan pelanggaran terhadap
kode etik, antara lain namun tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran
terhadap:
-Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris;
-penjelasan pasal 19 ayat 2 undang-undang tentang
Jabatan Notaris;
-sumpah jabatan Notaris;
p)
Hal-hal menurut ketentuan
Anggaran Dasar dan Anggaran rumah Tangga atau keputusan organisasi profesi
(INI).
5.PENGECUALIAN
Beberapa
hal merupakan pengecualian tidak termasuk pelanggaran, sebagai berikut:
1)
memberikan ucapan selamat,
berduka cita dengan tidak mencantumkan nama pribadi;
2)
pemuatan nama dan alamat notaris
dalam buku panduan nomor telepon, Fax yang diterbitkan resmi PT.Telkom atau
lembaga resmi;
3)
memasang penunjuk jalan dengan
ukuran tidak melebihi 20cmx50cm dasar warna putih tulisan hitam tanpa
mencantumkan nama notaris, dipasang dgn radius max 100 meter dari kantor
notaris;
6. SANKSI
Sanksi terhadap pelanggar kode etik berupa:
1)
teguran;
2)
peringatan;
3)
schorsing (pemecatan sementara);
4)
onzetting (pemecatan);
5)
pemberhentian dengan tidak
hormat.
Penjatuhan sanksi-sanksi disesuaikan dengan
kwantitas dan kwalitas pelanggaran.
7. TATA CARA PENEGAKAN KODE ETIK
Pengawasan
dan pelaksanaan kode etik:
1)
tingkat pertama oleh Pengurus
Daerah INI dan Dewan Kehormatan Daerah;
2)
tingkat banding oleh Pengurus
Wilayah INI dan Dewan Kehormatan Wilayah;
3)
tingkat terakhir oleh Pengurus
Pusat INI dan Dewan Kehormatan Pusat.
PEMERIKSAAN DAN PENJATUHAN
SANKSI
8. ALAT PERLENGKAPAN:
Dewan Kehormatan: alat perlengkapan perkumpulan, melakukan
pemeriksaan dan penjatuhan sanksi
pelanggaran kode etik.
9. PEMERIKSAAN DAN
PENJATUHAN SANKSI PADA TINGKAT PERTAMA:
a)
dugaan pelanggaran kode etik baik diketahui oleh dewan
Kehormatan daerah/laporan dari Pengurus Daerah ataupun pihak lain kepada Dewan
Kehormatan Daerah, selambat-lambatnya 7 hari kerja harus segera mengadakan
sidang.
b)
Ternyata ada dugaan kuat pelanggaran kode etik maka dalam 7
hari kerja Dewan Kehormatan Daerah berkewajiban memanggil anggota;
c)
Dewan Kehormatan Daerah akan memutuskan setelah mendengarkan
keterangan dan pembelaan teradu disertai dengan sanksinya;
d)
Keputusan melanggar atau tidak melanggar selambat-lambatnya
15 hari kerja setelah tanggal sidang dimana notaris telah didengar keterangan
dan atau pembelaannya;
e)
anggota dipanggil tidak datang tanpa kabar dalam waktu 7hari
kerja, maka panggilannya akan diulang 2 kali dengan jarak waktu 7 hari kerja;
f)
setelah panggilan ketiga juga tidak datang tanpa kabar dengan
alasan apapun, maka Dewan Kehormatan Daerah akan bersidang dan menentukan
putusannya;
g)
sanksi pemberhentian sementara (schorsing) atau pemecatan
(onzetting) dari keanggotaan perkumpulan, Dewan Kehormatan Daerah wajib
berkonsultasi dengan Pengurus Daerahnya;
h)
putusan Dewan Kehormatan Daerah wajib dikirim oleh Dewan
Kehormatan Daerah kepada anggota yang melanggar, tembusannya kepada Pengurus
Cabang, Pengurus Daerah, Pengurus Pusat, dan Dewan Kehormatan Pusat, dalam waktu
7 hari kerja setelah putusan;
i)
pada tingkat Pengurus Daerah belum dibentuk Dewan Kehormatan
Daerah, maka Dewan kehormatan Wilayah berkewajiban dan berwenang menjalankan
kewajiban dan kewenangan Dewan Kehormatan Daerah dalam rangka penegakan kode
etik atau dewan Kehormatan Daerah terdekat. Berlaku pula apabila Dewan
kehormatan Daerah tidak sanggup menyelesaikan atau memutuskan permasalahan yang
dihadapi.
10. PEMERIKSAAN DAN
PENJATUHAN SANKSI PADA TINGKAT BANDING:
a)
putusan sanksi pemecatan sementara (schorsing) atau pemecatan
(onzetting) dari keanggotaan perkumpulan dapat dimohonkan banding dalam waktu
tiga puluh hari kerja setelah tanggal penerimaan putusan;
b)
permohonan naik banding dikirim tercatat atau dikirim
langsung ke Dewan Kehormatan Wilayah tembusan Dewan Kehormatan Pusat, pengurus
pusat, wilayah,daerah;
c)
Dewan Kehormatan Daerah dalam waktu 7 hari mengirim berkas
kepada Dewan kehormatan Pusat;
d)
setelah diterima 7 hari Dewan Kehormatan Wilayah memanggil
anggota guna melakukan pembelaan,selanjutnya putusan dalam 30 hari kerja;
e)
anggota tidak hadir tanpa pertanggungjawaban diputus 7 hari
setelah Dewan kehormatan Wilayah menerima permohonan banding;
f)
Dewan Kehormatan Wilayah mengirim putusannya tembusannya
dewan Kehormatan Daerah, pengurus wilayah, pengurus daerah dan pengurus pusat
INI pusat dalam waktu 7 hari kerja setelah putusan;
g)
apabila putusan Dewan Kehormatan Wilayah karena Dewan
Kehormatan Daerah belum terbentuk, maka keputusannya merupakan tingkat banding;
11. PEMERIKSAAN DAN
PENJATUHAN SANKSI PADA TINGKAT TERAKHIR
a)putusan penjatuhan
sanksi pemecatan sementara atau pemecatan dari keanggotaan perkumpulan dapat
diajukan pemeriksaan tingkat terakhir kepada Dewan kehormatan Pusat dalam waktu
30 hari kerja setelah penerimaan surat putusan dewan Kehormatan Wilayah;
b)permohonan dengan surat
tercatat atau langsung kepada Dewan Kehormatan Pusat dan tembusannya
kepada Dewan Kehormatan Daerah, pengurus
pusat, pengurus wilayah dan pengurus daerah.
c)Dewan kehormatan Wilayah
setelah menerima tembusan 7 hari mengirim berkas kepada Dewan kehormatan Pusat;
d) setelah menerima
permohonan 30 hari kerja anggota dipanggil untuk membela diri;
h)
tidak hadir tanpa pertanggungjawaban diputus 30 hari kerja
setelah Dewan Kehormatan Pusat memperoleh permohonan;
e)putusan dikirim 7 hari
kerja tembusan kepada Dewan Kehormatan Daerah, pengurus cabang, pengurus daerah
dan pengurus pusat;
12. EKSEKUSI
a)putusan yang ditetapkan
Dewan Kehormatan Daerah, Wilayah, Pusat dilaksanakan pengurus Daerah;
b)pengurus daerah wajib
mencatat dalam buku anggota perkumpulan atas keputusan Dewan Kehormatan Daerah,
wilayah, pusat, selanjutnya nama notaris, kasus dan keputusan diumumkan dalam
media notariat.
13.PEMECATAN SEMENTARA
anggota perkumpulan yang
telah melanggar UU No. 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris dengan putusan dan
diputus bersalah dipidana yang berkekuatan hukum tetap, pengurus pusat wajib
memecat sementara sebagai anggota perkumpulan disertai usul kepada konggres
agar anggota perkumpulan dipecat dari anggota perkumpulan.
14.KEWAJIBAN PENGURUS
PUSAT
penjatuhan sanksi
pemecatan sementara, pemecatan, pemberhentian tidak hormat sebagai anggota
perkumpulan wajib diberitahukan oleh pengurus pusat kepada Majelis Pengawas
Daerah, dan tembusannya kepada menteri Hukum dan HAM RI.
15. KETENTUAN PENUTUP
a)anggota perkumpulan
wajib menyesuaikan praktek maupun perilaku dalam menjalankan jabatannya dengan
ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam peraturan dan/atau kode etik ini;
b)hanya pengurus pusat
dan/atau alat perlengkapan yang lain dari perkumpulan atau anggota yang
ditunjuk yang berhak dan berwenang untuk
memberikan penerangan seperlunya kepada masyarakat tentang kode etik notaris
dan Dewan Kehormatan.
Seja o primeiro a comentar
Posting Komentar